Tawadhu': Ketika Rendah Hati Membuat Kita Berdiri Lebih Tinggi

Tawadhu': Ketika Rendah Hati Membuat Kita Berdiri Lebih Tinggi

Bismillahirrahmanirrahim

Suatu malam di pengajian bulanan RT, saya melihat pemandangan yang tak terlupakan. Seorang Syaikh—ulama yang punya ribuan santri, yang kitab-kitabnya dikaji di berbagai pesantren—duduk bersila dengan tawadhu' di barisan paling belakang. Ia mendengarkan dengan seksama ceramah seorang mubaligh muda yang baru lulus kuliah. Tidak ada raut wajah meremehkan. Tidak ada gelagat "ah, saya sudah tahu ini." Justru sesekali beliau mengangguk, tersenyum, bahkan mencatat. Setelah pengajian usai, beliau berjabat tangan dengan mubaligh itu dan berkata, "Jazakallah khairan, Ustadz. Ceramahnya menyentuh hati."

Itulah pertama kalinya saya benar-benar memahami apa itu tawadhu'.

Banyak dari kita salah paham tentang rendah hati. Kita mengira rendah hati berarti harus selalu mengalah, selalu mengatakan "saya tidak pandai" meski kita kompeten, atau menolak setiap pujian dengan kaku. Padahal, tawadhu' dalam Islam jauh lebih dalam dan elegan dari itu.

Tawadhu' Bukan Berarti Mengecilkan Diri

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa tawadhu' adalah "mengetahui nilai diri yang sebenarnya dan menempatkannya pada posisi yang tepat." Ini bukan tentang berpura-pura lemah atau menyembunyikan kemampuan. Nabi Yusuf 'alaihissalam dengan tegas menawarkan keahliannya kepada raja:

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

"Jadikanlah aku bendahara negara, karena aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan." (QS. Yusuf: 55)

Yusuf 'alaihissalam tidak menutupi kemampuannya. Namun ia juga tidak sombong. Inilah keseimbangan yang diajarkan Islam: kenali kelebihanmu, tapi jangan lupa siapa yang memberinya.

Allah berfirman:

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

"Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)." (QS. An-Nahl: 53)

Ketika kita sadar bahwa setiap kelebihan adalah titipan, bukan pencapaian murni dari diri sendiri, hati akan lebih lapang. Kita tidak perlu defensif saat dikritik, tidak perlu angkuh saat dipuji.

Cerita dari Kehidupan Sahabat

Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, khalifah yang ditakuti oleh Persia dan Romawi, pernah tidur di bawah pohon dengan alas seadanya. Ketika seorang utusan asing melihatnya dan berkata, "Engkau memerintah dengan adil, maka engkau tidur dengan tenang," Umar menjawab dengan mata berkaca-kaca, "Dahulu aku adalah orang yang hina. Islam-lah yang memuliakan kami."

Umar tidak mengatakan "Aku hebat karena aku adil." Ia mengatakan "Islam yang memuliakanku." Itu adalah tawadhu' seorang pemimpin sejati.

Begitu juga dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu yang meski menjadi khalifah, tetap memerah susu kambing untuk seorang janda di kampungnya. Ketika ditanya mengapa ia masih melakukannya, ia menjawab, "Aku berharap jabatan ini tidak mengubah diriku."

Mereka memahami: pangkat, harta, dan pujian adalah ujian, bukan identitas.

Cara Menghidupi Tawadhu' dalam Keseharian

Mari kita bawa prinsip ini ke kehidupan kita. Bukan dengan teori yang muluk, tapi dengan langkah-langkah sederhana yang bisa kita lakukan mulai hari ini.

Saat Dipuji, Jangan Tolak Mentah-mentah

Pernahkah Anda dipuji lalu langsung berkata, "Ah, enggak kok, biasa aja"? Kadang niat kita baik—ingin terlihat rendah hati. Tapi tanpa sadar, kita justru membuat orang yang memuji merasa tidak dihargai. Ia tulus mengapresiasi, tapi kita tolak mentah-mentah.

Rasulullah ﷺ mengajarkan cara yang lebih indah. Ketika beliau dipuji, beliau mengucapkan "Alhamdulillah" lalu mendoakan orang yang memuji. Beliau tidak menolak, tapi juga tidak menyombongkan diri. Beliau melempar pujian itu kepada Allah.

Jadi lain kali ada yang berkata, "Presentasi kamu bagus," coba jawab dengan, "Alhamdulillah, semoga bermanfaat. Terima kasih sudah mendengarkan." Sederhana, tapi penuh berkah.

Hargai Prosesnya, Bukan Cuma Hasilnya

Kita hidup di era Instagram di mana semua orang hanya pamer hasil akhir. Foto wisuda, sertifikat penghargaan, mobil baru. Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi orang yang benar-benar tawadhu' tidak melupakan prosesnya.

Saat berbagi pencapaian, ceritakan juga perjuangannya. "Alhamdulillah lulus S2. Terima kasih Bunda yang selalu mengirim doa di sepertiga malam, Pak Dosen yang sabar membimbing, dan teman-teman yang saling menyemangati." Dengan begitu, orang lain tidak hanya melihat Anda sebagai "orang sukses," tapi sebagai manusia yang bersyukur dan tidak lupa akar.

Ini juga melatih kita untuk tidak hancur saat gagal. Karena kita paham: hidup bukan hanya tentang hasil. Proses itu sendiri adalah ibadah.

Lihat Nilai di Setiap Orang

Nabi Muhammad ﷺ pernah berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi yang lewat. Ketika ditanya mengapa, beliau menjawab, "Bukankah ia juga jiwa (manusia)?" (HR. Bukhari & Muslim)

Jika Rasulullah saja menghormati manusia lintas agama, bagaimana dengan kita sesama Muslim? Apakah kita masih suka meremehkan orang berdasarkan pekerjaan, pendidikan, atau status sosial?

Tawadhu' mengajarkan kita untuk melihat nilai di setiap orang. Satpam yang menjaga keamanan kantor kita, tukang ojek yang mengantarkan makanan, pembantu rumah tangga yang menjaga kebersihan—mereka semua punya peran penting. Tanpa mereka, hidup kita tidak akan seberkah ini.

Cobalah sesekali berbincang dengan mereka. Tanyakan kabar. Tersenyum. Anda akan terkejut betapa banyak hikmah yang bisa dipetik dari orang-orang yang kita anggap "biasa."

Berani Mengakui Salah

Ini yang paling berat. Ego kita sering kali tidak rela mengakui kesalahan, apalagi di depan orang banyak. Tapi justru di situlah tawadhu' diuji.

Imam Malik rahimahullah pernah berkata:

كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلَّا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ

"Setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya, kecuali penghuni kubur ini (Nabi Muhammad ﷺ)."

Beliau, seorang imam besar, mengakui bahwa dirinya bisa salah.

Mengakui kesalahan bukan tanda kelemahan. Justru itu tanda kekuatan. Orang yang kuat adalah orang yang tidak takut reputasinya jatuh hanya karena mengucapkan, "Maafkan saya, saya salah."

Dan tahukah Anda? Rasulullah ﷺ bersabda, "Semua anak Adam pernah berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang bertobat." (HR. Tirmidzi). Jadi, kesalahan itu manusiawi. Yang tidak manusiawi adalah arogansi yang menolak mengakuinya.

Ikut Bahagia atas Kesuksesan Orang Lain

Ini ujian terbesar tawadhu' di era kompetisi ini. Ketika teman kita dipromosikan, saudara kita dapat jodoh, tetangga kita naik haji—apakah hati kita ikut senang? Atau justru ada rasa tidak nyaman?

Hati yang penuh tawadhu' tidak merasa terancam oleh kebahagiaan orang lain. Karena ia paham: rezeki Allah itu luas. Promosi teman tidak mengurangi peluang kita. Kebahagiaan orang lain bukan pengurangan dari kebahagian kita.

Nabi ﷺ bersabda, "Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri." (HR. Bukhari & Muslim)

Jadi latihlah hati untuk memberi selamat dengan tulus. Kirim pesan. Doakan. Rasakan ketulusan itu mengalir di dada. Anda akan merasakan ketenangan yang luar biasa.

Dengarkan Sebelum Membantah

Kita semua pernah terjebak dalam debat kusir. Saat diskusi, kita tidak benar-benar mendengar lawan bicara. Kita hanya menunggu giliran berbicara untuk membantah.

Orang yang tawadhu' mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ia tidak terburu-buru menyalahkan. Ia mencoba memahami sudut pandang orang lain dulu sebelum menyampaikan pendapatnya.

Allah berfirman:

فَبَشِّرْ عِبَادِ * الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ

"Maka sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya." (QS. Az-Zumar: 17-18)

Coba praktikkan ini: dalam diskusi berikutnya, tahan ego Anda. Dengarkan sampai selesai. Lalu katakan, "Saya paham maksud Anda. Kalau boleh, saya ingin menambahkan..." Lihat bagaimana suasana diskusi jadi lebih produktif.

Tawadhu' Adalah Kekuatan, Bukan Kelemahan

Imam Syafi'i rahimahullah pernah berkata:

عِلْمِي مَعِي حَيْثُمَا يَمَّمْتُ يَتْبَعُنِي * صَدْرِي وِعَاءٌ لَهُ لَا بَطْنُ صُنْدُوقِ

"Ilmuku seperti air di telapak tanganku. Semakin aku genggam erat, semakin cepat ia menghilang. Semakin aku lepaskan, semakin banyak yang tersisa."

Tawadhu' membuat kita lebih kuat, bukan lebih lemah. Ia membebaskan kita dari beban harus selalu terlihat sempurna, dari tekanan untuk selalu menang, dari ketakutan untuk kehilangan muka.

Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan mengangkat derajatnya." (HR. Muslim)

Jadi, semakin rendah kita menempatkan diri di hadapan Allah dan sesama manusia, semakin tinggi Allah meninggikan kita. Bukan tinggi dalam pencitraan, tapi tinggi dalam keberkahan hidup, ketenangan hati, dan cinta orang-orang di sekitar kita.

Wallahu a'lam. Semoga kita semua diberi kemudahan untuk menghidupi tawadhu' dalam setiap langkah. Aamiin Ya Rabbal 'Alamin.


Tulisan ini adalah pengingat untuk diri saya sendiri sebelum untuk siapa pun. Jika ada kebaikan, itu dari Allah. Jika ada kekurangan, itu dari keterbatasan saya. Mohon maaf dan mohon doa.

Artikel Populer

Apa rahasia di balik kesuksesan para miliarder?

ANATOMI KECANDUAN: Bagaimana Drama Korea Merampok Waktu Hidup Lo

Sabar yang Hidup – Bukan Pasif, Tapi Penuh Daya

PUBLIKASI

  • Sedang memuat...

Arsip