APA KATA SAINS: Penelitian dan Pandangan Pakar Soal Kecanduan Drama

APA KATA SAINS: Penelitian dan Pandangan Pakar Soal Kecanduan Drama

NEUROLOGI: Otak Lo Diretas oleh Cerita Bersambung

Dr. Renee Carr, Psikolog Klinis

Dr. Carr dari California menjelaskan bahwa menonton drama serial memicu pelepasan dopamin yang mirip dengan kecanduan obat-obatan.

Begini cara kerjanya:

Ketika lo nonton drama dan masuk ke dalam cerita, otak lo melepaskan dopamin—neurotransmitter yang bikin lo merasa senang dan puas.

Tapi yang bikin bahaya: Otak lo nggak bisa bedain antara pengalaman nyata dan pengalaman yang lo tonton.

Jadi waktu karakter lo jatuh cinta? Otak lo ngerasain jatuh cinta. Waktu karakter lo menang? Otak lo ngerasain kemenangan.

Dan pas episode selesai dengan cliffhanger? Otak lo dalam kondisi "unfinished business"—nggak rela berhenti sampai cerita selesai.

Ini disebut "Zeigarnik Effect": otak manusia punya kecenderungan kuat untuk mengingat dan memikirkan sesuatu yang belum selesai lebih intensif dibanding yang udah selesai.

Makanya lo susah tidur kalau episode terakhir belum ditonton. Makanya lo ngerasa gelisah kalau belum tau kelanjutan cerita.

Otak lo nggak dikasih closure, jadi lo terus ngejar.

Penelitian University of Toledo (2024)

Sebuah studi yang dipublikasikan di Journal of Behavioral Addictions menemukan bahwa:

36% dari responden yang menonton drama serial secara binge-watching mengalami gejala kecanduan:

  • Craving (keinginan kuat untuk nonton)
  • Loss of control (nggak bisa berhenti)
  • Continued use despite negative consequences (tetap nonton meski tau ada dampak buruk)

Yang lebih mengejutkan: 72% responden melaporkan gangguan tidur akibat maraton nonton drama.

Dan ini bukan cuma soal kurang tidur.

Kualitas tidur mereka menurun drastis karena:

  • Stimulasi visual yang berlebihan sebelum tidur
  • Emosi yang masih bergejolak dari drama yang ditonton
  • Cahaya biru dari layar yang mengganggu produksi melatonin

Peneliti Dr. Kayley Randolph menyimpulkan: "Binge-watching bukan lagi sekadar kebiasaan hiburan. Bagi sebagian orang, ini sudah menjadi perilaku adiktif yang mempengaruhi kesehatan mental dan fisik."

PSIKOLOGI: Drama Jadi Mekanisme Coping yang Berbahaya

Dr. Jennifer Wolkin, Neuropsikolog

Dr. Wolkin menjelaskan fenomena **"escapist consumption"**—konsumsi konten sebagai pelarian dari realitas.

Menurutnya: Drama serial menawarkan "predictable unpredictability".

Apa maksudnya?

Lo tau bahwa:

  • Akan ada konflik
  • Akan ada resolusi
  • Akan ada ending (baik atau buruk)

Tapi lo nggak tau kapan dan gimana.

Kombinasi ini menciptakan ilusi kontrol: lo ngerasa terlibat dalam cerita, tapi nggak harus tanggung jawab atas hasilnya.

Beda sama hidup nyata di mana:

  • Lo nggak tau akan ada masalah apa
  • Lo nggak tau masalah lo bakal selesai atau nggak
  • Lo harus aktif ambil keputusan dan tanggung risikonya

Drama ngasih struktur emosional yang hidup nyata nggak bisa kasih.

Dan buat orang yang lagi stres, depresi, atau overwhelmed? Drama jadi obat penenang yang mudah diakses.

Tapi masalahnya: Ini coping mechanism yang nggak menyelesaikan masalah.

Lo cuma nunda menghadapi realitas—dan begitu drama selesai, masalah lo masih ada, bahkan bertambah karena waktu lo terbuang.

Penelitian University of Texas (2023)

Studi yang melibatkan 800+ partisipan ini menemukan korelasi kuat antara binge-watching dan tingkat stres, kecemasan, serta depresi.

Temuan utamanya:

Orang yang menonton drama lebih dari 6 jam sehari memiliki:

  • 35% lebih tinggi tingkat kecemasan
  • 28% lebih tinggi gejala depresi
  • 42% lebih rendah tingkat kepuasan hidup

Tapi yang menarik: Hubungan ini bersifat dua arah (bidirectional).

Artinya:

  • Orang yang stres/depresi cenderung nonton drama sebagai pelarian
  • Nonton drama berlebihan memperburuk stres dan depresi mereka
  • Yang memperburuk kondisi mental mendorong mereka nonton lebih banyak lagi

Siklus yang mengunci diri sendiri.

Dr. Emily Stevens, peneliti utama, menjelaskan: "Binge-watching memberikan kepuasan jangka pendek, tapi mencuri waktu yang seharusnya digunakan untuk aktivitas yang benar-benar memperbaiki kesehatan mental—seperti olahraga, sosialisasi, atau tidur berkualitas."

SOSIOLOGI: Mengapa Drama Asia Lebih Adiktif?

Dr. Sun Jung, Media Studies Expert, RMIT University

Dr. Jung, yang spesialisasinya adalah Korean Wave (Hallyu), menjelaskan kenapa drama Asia—khususnya Korea—punya daya candu yang lebih kuat dibanding drama Barat.

Beberapa faktor strukturalnya:

1. Format Episode yang Lebih Panjang (60-90 menit) Drama Korea rata-rata 70 menit per episode—hampir 2x lipat drama Barat. Artinya: investasi emosional per episode jauh lebih besar.

2. Jumlah Episode yang Terbatas (16-24 episode) Beda sama series Barat yang bisa 5-10 season, drama Korea biasanya cuma satu season. Ini menciptakan sense of urgency: "kalau nggak ditonton sekarang, nanti ketinggalan."

3. Struktur Naratif yang Hyper-Emotional Drama Korea nggak takut menampilkan emosi ekstrem dalam satu episode:

  • Karakter bisa nangis, tertawa, marah, jatuh cinta—semuanya dalam 20 menit
  • Emotional rollercoaster yang intens = dopamine spike yang tinggi

4. Penggunaan OST (Original Soundtrack) yang Strategis Musik dalam drama Korea bukan sekadar background—tapi emotional trigger. Begitu lo denger lagu tertentu, otak lo langsung recall emosi dari scene itu.

Dr. Jung menyimpulkan: "Drama Korea didesain untuk maksimalisasi keterlibatan emosional. Ini bukan kebetulan—ini hasil riset pasar dan psikologi konsumen yang sangat canggih."

Penelitian Seoul National University (2023)

Studi ini menganalisis pola konsumsi K-Drama di 42 negara.

Temuannya mengejutkan:

Negara dengan tingkat stres sosial-ekonomi tinggi memiliki tingkat konsumsi K-Drama 3x lipat lebih tinggi.

Indonesia, Filipina, Thailand, dan beberapa negara Amerika Latin masuk kategori ini.

Mengapa?

Drama Korea menawarkan "escapism with aspiration":

  • Lo bisa kabur dari realitas lo yang berat
  • Sambil ngebayangin kehidupan yang lebih baik (rumah mewah, cinta romantis, karir sukses)

Ini berbeda dari drama Barat yang sering lebih "realistic" dan "gritty".

Drama Korea menjual fantasi yang achievable: karakternya juga pernah miskin, pernah disakiti, pernah struggle—tapi akhirnya berhasil.

Ini ngasih harapan palsu yang nyaman.

Dr. Kim Hye-jin, peneliti utama, menjelaskan: "K-Drama berfungsi sebagai 'digital comfort food' bagi masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi dan sosial. Sayangnya, seperti comfort food sungguhan, konsumsi berlebihan justru memperburuk kondisi jangka panjang."

TEKNOLOGI & DESAIN PLATFORM: Lo Lawan Algoritma Triliunan Dolar

Tristan Harris, Mantan Design Ethicist Google

Tristan Harris, yang sekarang jadi aktivis teknologi, membuka rahasia industri streaming:

Platform kayak Netflix, Viu, Disney+ punya tim khusus yang tugasnya cuma satu: Bikin lo nonton lebih lama.

Teknik yang mereka pake:

1. Autoplay dengan Countdown Timer Begitu episode selesai, lo cuma punya 5-10 detik sebelum episode berikutnya otomatis jalan. Ini memanfaatkan "inertia psychology": lebih gampang nggak ngapa-ngapain (dan nonton terus) daripada actively stop.

2. Algoritma Rekomendasi yang Prediktif AI mereka belajar dari:

  • Episode mana yang lo tonton sampai habis
  • Kapan lo pause
  • Kapan lo skip intro/outro
  • Genre apa yang lo tonton di jam berapa

Lalu platform kasih lo drama berikutnya yang kemungkinan besar lo bakal tonton—sebelum lo sempat sadar lo butuh itu atau nggak.

3. Thumbnail dan Preview yang Dioptimalkan Gambar yang lo liat di katalog drama itu bukan random. Platform A/B testing ribuan thumbnail buat cari yang paling bikin lo klik.

Bahkan preview video yang jalan otomatis waktu lo hover di judul drama—itu dipilih berdasarkan scene mana yang paling tinggi emotional engagement-nya.

Tristan Harris bilang: "You're not just watching a show. You're playing against a supercomputer designed by the smartest engineers in the world, whose job is to keep you watching."

Lo nggak lawan kemauan lo sendiri. Lo lawan algoritma perusahaan triliunan dolar.

Penelitian Stanford University (2022): "The Attention Economy"

Profesor BJ Fogg, founder Stanford Behavior Design Lab, meneliti **"persuasive technology"**—teknologi yang dirancang untuk mengubah perilaku manusia.

Temuannya:

Streaming platform menggunakan prinsip-prinsip psikologi yang sama dengan mesin slot di kasino:

  • Variable reward schedule: lo nggak tau episode mana yang bakal "jackpot" (super seru), jadi lo terus nonton
  • Near-miss effect: episode yang "hampir" memuaskan tapi nggak bener-bener selesai bikin lo penasaran
  • Sunk cost fallacy: makin banyak episode yang udah lo tonton, makin susah lo berhenti (karena merasa "udah invest waktu terlalu banyak")

Dan yang paling kejam:

"Infinite scroll" dan "autoplay" menghilangkan "stopping cue"—sinyal alami yang kasih tau otak lo: "waktunya berhenti."

Di masa sebelum streaming:

  • Lo harus tunggu seminggu buat episode baru (stopping cue)
  • Lo harus ganti DVD/kaset (stopping cue)
  • Lo harus nunggu iklan (stopping cue)

Sekarang? Nggak ada stopping cue.

Drama bisa jalan 24/7 non-stop kalau lo nggak manually stop.

Prof. Fogg menyimpulkan: "We're creating technology that exploits human psychology's vulnerabilities. And we're getting very, very good at it."

KESIMPULAN SAINS: Ini Bukan Soal Disiplin, Ini Soal Desain

Dari semua penelitian dan pandangan pakar ini, ada satu benang merah:

Lo nggak lemah karena kecanduan drama. Lo cuma manusia biasa yang lawan sistem yang didesain supaya lo kalah.

Sistem yang:

  • Ngerti cara kerja otak lo lebih baik dari lo sendiri
  • Punya data tentang kebiasaan lo
  • Dibikin sama orang-orang yang gajinya ratusan juta setahun cuma buat bikin lo scrolling/nonton lebih lama

Tapi sains juga ngasih harapan:

Begitu lo ngerti cara sistemnya kerja, lo bisa ngelawan dengan strategi yang tepat:

  • Matiin autoplay = lo ambil balik kontrol dari algoritma
  • Batasi waktu = lo lawan variable reward schedule
  • Isi waktu dengan aktivitas nyata = lo ganti sumber dopamin
  • Sadari trigger emosional = lo putus kaitan antara stres dan nonton

Lo nggak bisa ngelawan kecanduan cuma dengan kemauan.

Tapi lo bisa ngelawan kalau lo ngerti psikologi dan teknologi di baliknya.

Dan sekarang lo udah ngerti.

Artikel Terkait

 

Artikel Populer

Apa rahasia di balik kesuksesan para miliarder?

ANATOMI KECANDUAN: Bagaimana Drama Korea Merampok Waktu Hidup Lo

Sabar yang Hidup – Bukan Pasif, Tapi Penuh Daya

PUBLIKASI

  • Sedang memuat...

Arsip