Bagian 3/3 - Menjaga dan Mengasah Wibawa
Menjaga Lisan, Menjaga Wibawa
Kewibawaan tidak hanya dibangun—ia juga bisa runtuh dalam hitungan detik karena kebiasaan kecil yang dianggap sepele. Banyak orang berusaha tampil meyakinkan, namun tanpa sadar justru mengikis kredibilitas mereka melalui pola komunikasi yang kontraproduktif. Berikut sejumlah kesalahan umum yang kerap merusak citra berwibawa, baik dalam konteks pribadi, profesional, maupun dakwah.
1. Berbicara Tanpa Persiapan
Berpidato, memberi nasihat, atau bahkan menjawab pertanyaan penting tanpa persiapan mental dan intelektual mengirim sinyal bahwa pembicara tidak menghargai pendengar—dan tidak menghargai kebenaran itu sendiri. Nabi ﷺ, meskipun diberi wahyu, tetap memilih kata-kata dengan cermat dan sering kali meminta waktu untuk merenung sejenak sebelum menjawab.
Dalam psikologi kognitif, ucapan yang acak dan tidak terstruktur dianggap sebagai indikator rendahnya kompetensi. Sebaliknya, kesiapan menunjukkan rasa tanggung jawab dan penghargaan terhadap audiens.
2. Sering Mengeluh atau Mengkritik Orang Lain
Mengeluh tentang atasan, rekan kerja, jamaah, atau bahkan kondisi masyarakat—apalagi di ruang publik—tidak membuat seseorang tampak kritis atau peka, melainkan lemah dan tidak solutif. Rasulullah ﷺ sangat menjaga lisan dari ghibah, adu domba, dan keluhan yang tidak membangun.
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dianggap dusta jika ia selalu menyampaikan semua yang didengarnya.” (HR. Muslim)
Ayat ini mengingatkan bahwa bukan hanya kebohongan eksplisit yang merusak kredibilitas, tetapi juga kebiasaan menyebarkan setiap informasi—termasuk keluhan, gosip, atau kritik tanpa pertimbangan—yang merusak kepercayaan orang terhadap penuturnya.
3. Bahasa Tubuh yang Kontradiktif
Kata-kata bisa meyakinkan, tetapi tubuh sering berbicara lebih jujur. Menghindari kontak mata, menyilangkan tangan secara defensif, gelisah menggerakkan kaki, atau suara yang gemetar—semua ini mengirim pesan ketidaknyamanan atau ketidakpercayaan diri, meskipun isi ucapannya logis.
Penelitian Albert Mehrabian (1971) menunjukkan bahwa dalam komunikasi emosional, hanya 7% makna berasal dari kata-kata, sementara 38% dari vokal (nada, kecepatan) dan 55% dari ekspresi wajah serta postur tubuh. Artinya, jika bahasa tubuh bertentangan dengan ucapan, pendengar akan cenderung memercayai tubuh, bukan lidah.
4. Mendominasi Percakapan Tanpa Mendengarkan
Kewibawaan bukan tentang seberapa banyak Anda berbicara, melainkan seberapa dalam Anda memahami. Orang yang selalu ingin “menang” dalam diskusi, memotong pembicaraan, atau langsung memberi solusi tanpa benar-benar mendengar, justru terlihat tidak aman secara emosional.
Nabi ﷺ dikenal sebagai pendengar yang sabar. Bahkan kepada orang yang berbicara panjang lebar atau bertanya berulang, beliau tidak pernah memperlihatkan kejengkelan. Dalam psikologi, kemampuan mendengarkan aktif (active listening) adalah salah satu tanda kecerdasan emosional tertinggi dan fondasi kepemimpinan yang dihormati.
5. Menggunakan Retorika untuk Menutupi Kekosongan
Penggunaan istilah asing, jargon teknis, atau kalimat berbunga-bunga tanpa substansi justru menunjukkan ketidakmampuan menyampaikan inti dengan sederhana. Imam Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata:
الْكَلَامُ كَالدَّوَاءِ، وَإِنْ أَكْثَرْتَ مِنْهُ أَضَرَّ
“Perkataan itu seperti obat; jika berlebihan, justru membahayakan.”
Komunikasi berwibawa justru ditandai oleh kesederhanaan yang penuh makna—seperti sabda Nabi ﷺ yang ringkas namun menggetarkan hati. Karena kebenaran tidak butuh hiasan; ia cukup dengan kejelasan dan ketulusan.
Menghindari kesalahan-kesalahan ini bukan tentang menjadi sempurna, melainkan tentang kesadaran terus-menerus—karena kewibawaan sejati lahir bukan dari citra yang dibangun, melainkan dari karakter yang diasah.
Penutup: Wibawa yang Tumbuh dari Hati, Bukan Panggung
Kewibawaan sejati bukanlah pakaian yang dipinjam untuk tampil di depan umum, lalu dilepas begitu tirai turun. Ia adalah akar yang tumbuh diam-diam dalam gelap—dipupuk oleh kejujuran, disirami oleh kesabaran, dan disinari oleh niat yang lurus. Orang yang berwibawa bukan yang paling banyak berbicara, melainkan yang paling dalam memahami kapan harus bicara, apa yang pantas dikatakan, dan bagaimana mengatakannya dengan tanggung jawab di hadapan Allah dan sesama.
Rasulullah ﷺ tidak pernah berusaha “menjadi berwibawa”. Beliau hanya berusaha menjadi benar—dalam perkataan, perbuatan, dan hati. Dan dari kebenaran itulah wibawa mengalir seperti air jernih: alami, menyejukkan, dan tak perlu dipaksakan.
Jika kita ingin ucapan kita didengar, mulailah dengan membersihkan niat. Jika kita ingin dipercaya, mulailah dengan menepati hal kecil. Jika kita ingin dihormati, mulailah dengan menghormati kebenaran lebih dari keinginan untuk dipuji.
Karena pada akhirnya, komunikasi yang berwibawa bukanlah tentang bagaimana orang melihat kita—melainkan tentang sejauh mana kita mampu menjadi cermin cahaya kebenaran itu sendiri.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا
“Ya Allah, jadikanlah dalam hatiku cahaya, dalam lisanku cahaya, dalam pendengaranku cahaya, dan dalam penglihatanku cahaya.” (HR. Muslim)
Referensi
- Al-Qur’an Al-Karim
- Shahih al-Bukhari
- Shahih Muslim
- Sunan al-Tirmidzi
- Musnad Ahmad
- Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
- Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Al-Fawā’id
- Hovland, C.I., & Weiss, W. (1951). The Influence of Source Credibility on Communication Effectiveness. Public Opinion Quarterly, 15(4), 635–650.
- Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books.
- Cuddy, A. (2015). Presence: Bringing Your Boldest Self to Your Biggest Challenges. Little, Brown and Company.
- Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence. Bantam Books.
- Krauss, R.M., & Fussell, S.R. (1996). Social Psychological Models of Interpersonal Communication. Handbook of Social Psychology, 4th ed.