Seri 1 - Syaja’ah: Keberanian yang Terukur dan Bijaksana dalam Perspektif Islam
Dalam kehidupan individu maupun masyarakat, keberanian sering kali dipandang sebagai kebajikan universal. Namun, tidak semua bentuk keberanian layak dipuji. Islam membedakan antara syaja’ah—keberanian yang terukur, terarah, dan bijaksana—dengan keberanian buta yang lahir dari emosi sesaat atau nafsu ingin dipuji. Konsep syaja’ah dalam tradisi Islam bukan sekadar keberanian fisik di medan perang, melainkan keberanian batin yang berakar pada iman, akal, dan akhlak mulia.
Syaja’ah dalam Kerangka Akhlak Islam
Dalam psikologi akhlak Islam klasik, syaja’ah termasuk dalam empat kebajikan utama (al-fadhail al-arba’ah): al-hikmah (kebijaksanaan), al-‘adl (keadilan), al-‘iffah (menjaga diri dari nafsu), dan al-syaja’ah. Keempatnya saling melengkapi; tanpa hikmah, keberanian menjadi kecerobohan; tanpa keadilan, ia berubah menjadi kekerasan.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa syaja’ah adalah jalan tengah antara dua ekstrem: nekat (tahawwur) dan pengecutan (jubn). Ia lahir dari keseimbangan jiwa yang terlatih melalui ibadah dan introspeksi diri.
Suara Ulama: Al-Mawardi dan Keberanian yang Tegas namun Adil
Imam al-Mawardi (392–450 H), dalam karyanya Adab al-Dunya wa al-Din, menempatkan syaja’ah sebagai salah satu pilar utama karakter individu mulia—khususnya pemimpin. Beliau menulis bahwa orang yang memiliki syaja’ah tidak mudah gentar oleh ancaman, tidak takut mencela kezaliman, dan bersikap tegas namun adil. Baginya, keberanian bukan sekadar kemampuan fisik, melainkan kekuatan moral untuk berpihak pada kebenaran meski berdiri sendiri.
“Orang yang berani adalah yang lidahnya tidak dibungkam oleh ketakutan, dan hatinya tidak goyah oleh tekanan.” — Adab al-Dunya wa al-Din, Imam al-Mawardi
Dua Wajah Syaja’ah
Tradisi Islam membagi syaja’ah menjadi dua bentuk utama:
- Syaja’ah Harbiyah: Keberanian di medan perang, tetapi tetap tunduk pada batasan syariat—seperti larangan membunuh anak kecil, perempuan, atau merusak tanaman.
- Syaja’ah Nafsiyah: Keberanian batin, seperti mengakui kesalahan, menolak godaan hawa nafsu, atau berkata benar di hadapan penguasa zalim.
Jenis kedua ini, menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarijus Salikin, justru lebih tinggi nilainya karena melibatkan jihad akbar—perang melawan nafsu sendiri.
Fondasi Spiritual Syaja’ah
Keberanian dalam Islam tidak lahir dari keangkuhan atau keinginan pamer, melainkan dari tiga pilar spiritual:
- Taqwa: Takut hanya kepada Allah, bukan kepada manusia.
- Yaqin: Keyakinan bahwa segala risiko di dunia tidak sebanding dengan balasan akhirat.
- Tawakal dan Ridha: Setelah berikhtiar, pasrah sepenuhnya kepada ketetapan-Nya.
Al-Qur’an menegaskan dalam Surah Ali Imran ayat 139:
Artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) kamu bersedih hati, sedangkan kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
Penutup: Syaja’ah dalam Kehidupan Modern
Di era informasi dan tekanan sosial yang intens, syaja’ah nafsiyah menjadi lebih relevan: berani tidak ikut arus hoaks, berani menolak korupsi meski itu “budaya”, berani meminta maaf, dan berani hidup sederhana di tengah konsumerisme. Inilah bentuk jihad kontemporer yang membutuhkan keberanian terukur dan bijaksana.
Pada seri berikutnya, kita akan mengeksplorasi bagaimana syaja’ah dapat diukur secara psikologis—dengan mengintegrasikan skala Moral Courage dari psikologi Barat dan prinsip akhlak Islam—menuju model pengukuran yang utuh, ilmiah, dan berakar pada nilai Ilahi.
Seri Syaja’ah (Keberanian) dalam Perspektif Islam
- Seri 1 - Syaja’ah: Keberanian yang Terukur dan Bijaksana dalam Perspektif Islam
- Seri 2 - Mengukur Syaja’ah: Menuju Skala Psikologis Islami yang Terintegrasi
- Seri 3 - Aplikasi Syaja’ah dalam Kehidupan Modern: Antara Prinsip, Tekanan, dan Tanggung Jawab Sosial
- Seri 4 - Menghadapi Bayangan dalam Diri: Tantangan Internal dalam Memupuk Syaja’ah
- Seri 5 - Panduan Harian Memupuk Syaja’ah: Latihan, Doa, dan Refleksi Moral
Sumber: persadani.org