Sakitnya Scroll di Usia Matang - Bagian 1
Sakitnya Scroll di Usia Matang: Ketika Media Sosial Menggerogoti Ketenangan Jiwa yang Seharusnya Sudah Tercapai
Tinjauan Psikospiritual untuk Generasi 35+
21 November 2025
Pendahuluan: Krisis yang Tersembunyi di Balik Kesuksesan Semu
Di usia yang seharusnya menjadi puncak kematangan—baik secara profesional, emosional, maupun spiritual—banyak dari kita justru mengalami krisis identitas yang lebih dalam dari masa remaja. Ironinya, krisis ini dipicu dan diperparah oleh teknologi yang seharusnya mempermudah hidup: media sosial.
Jika generasi muda (Gen Z) mengalami FOMO tentang pesta dan travelling, maka generasi 35 tahun ke atas menghadapi FOMO yang lebih eksistensial: ketakutan bahwa hidup telah berlalu tanpa pencapaian yang memadai. Ini bukan sekadar kecemasan remaja—ini adalah krisis makna hidup (existential crisis) yang diperburuk oleh paparan konstan terhadap kesuksesan orang lain di dunia maya.
Mari kita telaah fenomena ini dengan pendekatan yang lebih mendalam—menggabungkan perspektif psikologi klinis dan ajaran Islam yang telah mengantisipasi persoalan ini 14 abad silam.
Bagian I: Anatomi Penyakit Digital pada Usia Matang
1. FOMO Eksistensial: Ketakutan Bahwa "Sudah Terlambat"
Berbeda dengan FOMO remaja yang bersifat situasional, FOMO pada usia 35+ bersifat evaluatif dan komparatif terhadap seluruh perjalanan hidup.
Manifestasi konkret:
- Scroll LinkedIn, melihat teman kuliah menjadi C-level executive di perusahaan multinasional—sementara Anda masih di posisi manajerial yang stagnan
- Melihat teman SMA yang dulu biasa-biasa saja kini memiliki bisnis dengan omzet miliaran
- Mengamati rekan sekerja yang lebih muda mendapat promosi lebih cepat
- Menyaksikan teman sekampung yang sudah naik haji berkali-kali, sementara Anda bahkan belum mampu umroh
Dampak psikologis yang lebih serius:
- Rumination disorder (merenungi kegagalan berulang-ulang)
- Anticipatory anxiety (cemas tentang masa depan yang semakin sempit)
- Regret accumulation (penumpukan penyesalan)
- Learned helplessness (merasa tidak ada yang bisa dilakukan)
Perspektif Islam:
Allah SWT berfirman dengan tegas:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
"Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Az-Zukhruf: 32)
Ayat ini mengandung tiga prinsip fundamental:
- Distribusi rezeki adalah kehendak ilahi, bukan kebetulan atau kegagalan personal
- Perbedaan tingkatan adalah ujian, bukan bukti nilai manusia
- Rahmat Allah lebih berharga dari akumulasi kesuksesan duniawi
Imam Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah dalam Madarij as-Salikin menjelaskan:
"Barangsiapa yang mengukur keberhasilan hidupnya dengan standar dunia, maka ia akan selamanya merasa gagal. Karena dunia ini tidak pernah memberikan kepuasan penuh kepada siapapun. Tetapi barangsiapa yang mengukur hidupnya dengan standar akhirat, ia akan menemukan ketenangan bahkan di tengah kesulitan."
2. Comparative Success Syndrome: Membandingkan Kesuksesan dalam Konteks yang Tidak Setara
Di usia ini, perbandingan sosial menjadi lebih sophisticated dan menyakitkan karena mencakup multiple domains of life:
Domain karir:
- "Teman seangkatan sudah direktur, saya masih middle management"
- "Rekan bisnis sudah ekspor ke 10 negara, usaha saya masih skala lokal"
Domain finansial:
- "Tetangga baru beli rumah kedua di Bali, saya masih cicil rumah pertama"
- "Teman arisan sudah punya passive income, saya masih gaji bulanan"
Domain keluarga:
- "Anak teman sudah kuliah luar negeri, anak saya masih bingung mau jurusan apa"
- "Pernikahan teman terlihat harmonis di Instagram, saya dan pasangan sudah jarang bicara"
Domain spiritual:
- "Teman pengajian sudah hafal 10 juz, saya masih kesulitan istiqomah sholat tahajud"
- "Tetangga sudah naik haji 3 kali, saya bahkan belum pernah umroh"
Bahaya tersembunyi:
Yang membuat ini berbahaya adalah context collapse—kita membandingkan seluruh hidup kita dengan highlight reel orang lain, tanpa tahu:
- Berapa utang yang mereka tanggung
- Seberapa hancur kesehatan mental mereka
- Bagaimana kondisi pernikahan mereka yang sebenarnya
- Berapa banyak prinsip yang mereka korbankan
Perspektif Psikologi Klinis:
Dr. Leon Festinger dalam teorinya tentang Social Comparison Theory (1954) menjelaskan bahwa perbandingan sosial adalah naluri manusia—tetapi menjadi patologis ketika:
- Dilakukan secara konstan dan obsesif
- Menggunakan standar yang tidak realistis
- Mengabaikan konteks dan variabel penting
- Menimbulkan distress yang mengganggu fungsi hidup
Perspektif Islam:
Allah SWT mengingatkan dengan sangat gamblang:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa." (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini dengan tegas mendekonstruksi seluruh sistem nilai duniawi. Nilai manusia di sisi Allah bukan dari jabatan, kekayaan, atau pencapaian worldly—tetapi dari takwa.
Rasulullah ﷺ menegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian."
3. Digital Fatigue dengan Konsekuensi Lebih Luas
Jika pada remaja digital fatigue menyebabkan kesulitan fokus belajar, pada usia 35+ dampaknya menyebar ke seluruh aspek kehidupan:
Di tempat kerja:
- Attention residue—pikiran terpecah antara pekerjaan dan notifikasi
- Decision fatigue—terlalu banyak informasi mengganggu kemampuan membuat keputusan penting
- Productivity paradox—merasa sibuk tetapi tidak produktif
Dalam keluarga:
- Phubbing—mengabaikan pasangan/anak karena sibuk dengan ponsel
- Emotional unavailability—secara fisik hadir tetapi mental tidak
- Modelling perilaku buruk kepada anak
Dalam kehidupan spiritual:
- Khusyu' dalam sholat terganggu karena pikiran masih di timeline
- Sulit merasakan kehadiran Allah karena hati terlalu ramai
- Bacaan Al-Qur'an menjadi ritual tanpa tadabbur (refleksi mendalam)
Perspektif Neuroscience:
Penelitian Dr. Gloria Mark dari University of California menunjukkan bahwa:
- Rata-rata orang cek ponsel 150+ kali per hari
- Setiap interupsi membutuhkan 23 menit untuk kembali fokus penuh
- Multitasking digital menurunkan IQ sementara hingga 10 poin
Pada usia 35+, ketika neuroplasticity (kemampuan otak beradaptasi) sudah menurun, dampak digital fatigue lebih permanen dan sulit dipulihkan.
Perspektif Islam:
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra: 36)
Syekh Muhammad Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis:
"Hati adalah raja dari seluruh anggota tubuh. Jika hati sehat, maka sehat pula seluruh tubuh. Jika hati sakit, maka sakit pula seluruh tubuh. Dan tidak ada yang lebih merusak hati selain kesibukan dengan yang tidak bermanfaat."
Setiap jam yang kita habiskan untuk scroll tanpa tujuan adalah jam yang dicuri dari umur kita. Dan kita akan ditanya:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّىٰ يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ...
"Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga dia ditanya tentang empat hal: tentang umurnya untuk apa dihabiskan..." (HR. At-Tirmidzi)
4. Validation Addiction: Ketergantungan pada Pengakuan Eksternal
Di usia ini, validation addiction menjadi lebih berbahaya karena sumbernya lebih beragam dan lebih dekat:
Dari circle profesional:
- Mengharapkan apresiasi dari rekan kerja melalui LinkedIn post
- Posting achievement dengan harapan mendapat validasi dari atasan atau klien
- Merasa "tidak dihargai" jika postingan tentang kesuksesan tidak mendapat respons memadai
Dari circle sosial:
- Posting mobil baru—menunggu komen "Masyaallah, sukses terus ya!"
- Posting foto keluarga harmonis—mengharapkan image "keluarga ideal"
- Posting anak berprestasi—mencari validasi sebagai "orangtua sukses"
Dari circle keagamaan:
- Posting kegiatan ibadah—mengharapkan pengakuan sebagai "orang soleh"
- Posting sedekah atau amal—riya' digital yang terselubung
- Posting kajian atau ceramah—mencari status "ustadz" atau "ikhwan yang baik"
Bahaya sistemik:
Yang paling berbahaya adalah ketika identitas diri kita terfragmentasi menjadi multiple personas. Kita hidup untuk mempertahankan image, bukan menjadi diri yang autentik.
Perspektif Psikologi:
Carl Rogers dalam teorinya tentang Congruence menjelaskan bahwa kesehatan mental tergantung pada kesesuaian antara self-concept (konsep diri), ideal self (diri ideal), dan real self (diri aktual).
Media sosial menciptakan incongruence yang masif—jurang antara siapa kita sebenarnya dan siapa yang kita tampilkan.
Perspektif Islam:
Ini adalah bentuk riya'—berbuat untuk dilihat manusia, bukan karena Allah. Dan ini adalah dosa yang sangat dikhawatirkan Rasulullah ﷺ:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ
"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil."
Ditanya: "Apa itu syirik kecil, Ya Rasulullah?"
الرِّيَاءُ
Beliau menjawab: "Riya'." (HR. Ahmad)
Dan Allah berfirman dengan sangat tegas:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahfi: 110)
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan:
"Riya' adalah racun yang membunuh amal. Seseorang bisa sholat, bersedekah, berpuasa—tetapi jika niatnya untuk dilihat manusia, maka amalnya gugur di hadapan Allah."
5. Midlife Crisis yang Dipercepat dan Diperparah Media Sosial
Midlife crisis adalah fenomena psikologis yang normal—masa transisi di mana seseorang mengevaluasi ulang pencapaian, makna hidup, dan mortality. Biasanya terjadi di usia 40-60 tahun.
Namun, media sosial mempercepat dan memperparah fenomena ini:
Accelerated timeline:
- Dulu midlife crisis terjadi karena refleksi internal
- Sekarang dipicu oleh komparasi eksternal yang konstan
- Orang mengalami existential crisis lebih awal (35 tahun) dan lebih intens
Intensified symptoms:
- Mortality salience (kesadaran akan kematian) yang dipicu oleh melihat teman sebaya meninggal—dan langsung viral di medsos
- Regret maximization—tidak hanya menyesal tentang pilihan sendiri, tapi juga melihat "what could have been" di kehidupan orang lain
- Identity diffusion—bingung tentang siapa diri sejati karena terlalu banyak bermain peran di media sosial
Manifestasi destruktif:
- Impulse buying untuk "mengejar" lifestyle orang lain
- Marital infidelity—mencari validasi dari luar pernikahan
- Job hopping tanpa arah—mencoba "menemukan diri" tetapi justru semakin tersesat
- Spiritual confusion—mencoba berbagai "jalan spiritual" tanpa fondasi yang kokoh
Perspektif Islam:
Islam sebenarnya telah memberikan framework untuk menghadapi midlife dengan penuh makna:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sungguh, hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya." (QS. Ali Imran: 185)
Ayat ini mengandung tiga obat untuk midlife crisis:
- Acceptance of mortality—kematian adalah kepastian, bukan tragedi
- Reorientation of success metrics—kesuksesan sejati adalah masuk surga
- Reality check about dunya—dunia ini memang fana dan menipu
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
"Jadilah di dunia ini seperti orang asing atau pengembara." (HR. Bukhari)
*** BERSAMBUNG KE BAGIAN 2 ***
Bagian 2 akan membahas: Solusi Komprehensif—Pendekatan Psikospiritual (7 Solusi Praktis)