Fenomena Brainrot

Fenomena Brainrot: Ketika Hiburan Digital Mengikis Kemampuan Berpikir Jernih

(Tinjauan dari Psikologi Modern dan Spiritualitas Islam)

Apa Itu Brainrot?

Istilah “brainrot” (secara harfiah: “otak membusuk”) awalnya muncul di kalangan pengguna internet sebagai sindiran, tetapi kini menjadi istilah populer untuk menggambarkan kondisi mental akibat konsumsi berlebihan konten digital yang dangkal, repetitif, dan tidak bermakna—seperti video TikTok berdurasi 15 detik, meme absurd, atau serial drama yang mengulang pola emosional yang sama tanpa kedalaman.

Orang yang mengalami brainrot sering melaporkan:

  • Sulit berkonsentrasi dalam waktu lama
  • Pikiran mudah melayang
  • Kesulitan memahami teks panjang atau argumen kompleks
  • Kecenderungan mengulang frasa/frasa viral tanpa refleksi
  • Perasaan “kosong” setelah berjam-jam menggulir layar

Meski bukan diagnosis klinis, brainrot menggambarkan degradasi kognitif fungsional akibat terlalu lama terpapar stimulasi digital yang cepat, dangkal, dan adiktif.

1. Perspektif Psikologi Modern

a. Otak yang Terbiasa pada Stimulasi Instan

Otak manusia berevolusi untuk menangani informasi secara mendalam dan reflektif. Namun, algoritma media sosial dan platform hiburan digital dirancang untuk memberikan dopamin instan melalui konten yang cepat berubah, lucu, atau emosional. Seiring waktu, otak mulai “malas” memproses informasi yang membutuhkan usaha—seperti membaca buku, merenung, atau berdiskusi substantif.

b. Penurunan Attention Span

Studi menunjukkan rata-rata rentang perhatian manusia turun dari 12 detik (2000) menjadi 8 detik (2023)—lebih pendek dari ikan mas (9 detik). Paparan berulang terhadap konten kilat melatih otak untuk menolak hal yang “lambat”, termasuk ibadah yang membutuhkan kehadiran hati seperti shalat khusyuk atau tadabbur Al-Qur’an.

c. Identitas yang Terfragmentasi

Brainrot sering disertai dengan peniruan budaya internet: mengadopsi lelucon, logat, atau sikap dari konten yang dikonsumsi tanpa filter nilai. Akibatnya, individu kehilangan keaslian diri dan mudah terombang-ambing oleh tren sesaat.

2. Perspektif Spiritualitas Islam

a. Hati yang Tertutup oleh Laghwu

Allah menyebut orang beriman sebagai mereka yang “berpaling dari laghwu (perkara sia-sia). Konten brainrot—yang tidak mengandung kebenaran, hikmah, atau manfaat dunia-akhirat—termasuk dalam kategori ini. Ketika hati terbiasa mengonsumsinya, ia menjadi keruh, sehingga sulit menerima cahaya ilmu dan dzikir.

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan tidak berguna (laghwu), mereka lewat saja dengan menjaga kehormatan diri.” (QS. Al-Furqan: 72)

b. Waktu yang Disia-siakan

Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa dua nikmat yang sering disia-siakan adalah kesehatan dan waktu luang. Brainrot adalah bentuk penyia-nyiaan waktu paling halus: terasa “tidak melakukan apa-apa”, padahal otak dan hati sedang dikikis perlahan.

c. Kehilangan Fikr (Renungan Mendalam)

Islam sangat mendorong tafakkur (perenungan) sebagai jalan mengenal Allah. Namun, otak yang terbiasa dengan konten dangkal kehilangan kemampuan untuk merenung secara mendalam—sehingga Al-Qur’an hanya dibaca tanpa dipahami, doa hanya diucapkan tanpa dirasakan.

3. Solusi: Membersihkan “Otak yang Berkarat”

  1. Detoks Digital
    Tetapkan waktu bebas layar—terutama 1 jam sebelum tidur dan setelah bangun. Ganti dengan membaca buku fisik, jalan-jalan, atau dzikir.
  2. Konsumsi Konten yang Memperdalam, Bukan Menghibur
    Pilih podcast, artikel, atau video yang menantang akal dan menyentuh hati—bukan yang hanya memicu tawa instan atau emosi sesaat.
  3. Latih Pikiran dengan Ibadah yang Membutuhkan Kehadiran Hati
    Shalat dengan khusyuk, membaca Al-Qur’an dengan tadabbur, dan muhasabah harian melatih otak kembali pada ritme refleksi.
  4. Tanyakan: “Apakah Ini Membawaku Lebih Dekat pada Allah?”
    Gunakan prinsip ini sebagai filter sebelum membuka aplikasi atau menonton sesuatu.
  5. Bangun Komunitas yang Mendukung Kesadaran
    Bergaulah dengan orang-orang yang menjaga lisan, pikiran, dan waktunya—karena jiwa cenderung meniru lingkungannya.

Penutup

Brainrot bukan sekadar lelucon internet—ia adalah tanda krisis perhatian, kedalaman, dan makna di era digital. Sebagai Muslim, kita diajak untuk tidak hanya menghindari dosa besar, tapi juga menjaga kualitas pikiran dan hati dari hal-hal yang secara perlahan merusak koneksi kita dengan Allah.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra’: 36)

Semoga Allah lindungi hati dan akal kita dari “karat” hiburan semu, dan anugerahkan kita kejernihan untuk membedakan antara yang bermanfaat dan yang sia-sia.

Artikel Populer

Apa rahasia di balik kesuksesan para miliarder?

ANATOMI KECANDUAN: Bagaimana Drama Korea Merampok Waktu Hidup Lo

Sabar yang Hidup – Bukan Pasif, Tapi Penuh Daya

PUBLIKASI

  • Sedang memuat...

Arsip