Ketika Scrolling Jadi Ibadah Palsu

Ketika Scrolling Jadi Ibadah Palsu: Catatan untuk Generasi yang Lelah Pura-pura Bahagia

21 November 2025


Ada yang aneh dengan kita semua.

Kita bisa bangun jam 3 pagi cuma karena notifikasi bunyi. Tapi bangun tahajud? "Nanti deh, capek."

Kita bisa scroll TikTok 3 jam non-stop. Tapi baca Al-Qur'an 10 menit? "Kok ngantuk ya."

Kita bisa stalk mantan sampai foto 3 tahun lalu. Tapi baca doa pagi? "Lupa mulu."

Ini bukan tulisan untuk menghakimi. Ini catatan jujur dari orang yang sama-sama terperangkap dalam siklus yang sama: scroll, kosong, scroll lagi, makin kosong.

Mari kita bicara tanpa basa-basi.


Penyakit yang Tidak Kelihatan, Tapi Terasa Banget

1. FOMO: Cemas Kehilangan Sesuatu yang Sebenarnya Nggak Penting

Kamu lagi santai di rumah, tiba-tiba lihat story teman lagi nongkrong rame-rame. Langsung, ada rasa nggak enak di dada. "Kok aku nggak diajak?"

Atau lihat orang travelling ke luar negeri, kamu yang baru bisa jalan ke minimarket langsung merasa hidupmu "biasa aja."

Ini namanya FOMO—takut ketinggalan.

Padahal kalau dipikir: apakah hidup mereka benar-benar sesempurna itu? Atau cuma 30 detik terbaik dari 24 jam yang penuh drama?

Psikolog bilang FOMO bikin kita cemas kronis, susah tidur, dan selalu merasa kurang. Tapi Islam sudah kasih jawabannya 1400 tahun lalu:

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ

"Dan tidak ada satu makhluk pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya..." (QS. Hud: 6)

Rezekimu udah diatur. Jalan hidupmu udah ditulis. Kalau Allah belum kasih sesuatu ke kamu, berarti emang belum waktunya—atau memang bukan yang terbaik buat kamu.

Jadi kenapa kita masih cemas?

Karena kita lupa: yang kita lihat di layar itu bukan realitas. Itu iklan kehidupan orang lain.


2. Mengukur Harga Diri Pakai Angka

Coba jujur: berapa kali kamu refresh postingan buat ngecek jumlah likes?

Berapa kali kamu ngerasa gagal cuma karena postingan sepi?

Atau sebaliknya: berapa kali kamu ngerasa "oke" cuma karena dapat banyak komentar positif?

Kita udah jadi budak angka.

Padahal Allah bilang dengan tegas:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." (QS. Al-Hujurat: 13)

Bukan yang paling banyak followers.
Bukan yang paling cantik.
Bukan yang paling viral.

Yang paling bertakwa.

Rasulullah ﷺ ditanya: "Siapa orang yang paling utama?"
Beliau jawab simpel:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

"Yang paling bermanfaat bagi manusia." (HR. Ahmad)

Bukan yang paling terkenal. Tapi yang paling bermanfaat.

Jadi pertanyaannya bukan: "Berapa followers-ku?"
Tapi: "Apa manfaatku bagi orang lain?"


3. Capek Scroll, tapi Nggak Bisa Berhenti

Pernah nggak, habis scroll berjam-jam, kamu malah ngerasa kosong? Capek, tapi bukan capek produktif. Capek yang nggak ada hasilnya.

Ini yang disebut digital fatigue—kelelahan digital.

Otak kita itu nggak dirancang buat terima ribuan informasi dalam sejam. Video lucu, berita tragis, iklan produk, foto makanan, drama artis—semuanya masuk dalam waktu singkat.

Hasilnya? Kita jadi numb—mati rasa. Nggak happy, tapi juga nggak sedih. Cuma... hampa.

Islam sudah peringatkan:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا

"Janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati—semuanya akan diminta pertanggungjawaban." (QS. Al-Isra: 36)

Setiap detik yang kita habiskan di layar, nanti akan ditanya:
"Buat apa?"

Dan kita nggak bisa jawab: "Cuma iseng, Allah."


4. Mencari Validasi di Tempat yang Salah

Ini yang paling halus tapi paling berbahaya.

Kita mencari pengakuan dari orang-orang yang bahkan nggak kenal kita. Kita merasa "berharga" kalau di-appreciate netizen. Kita merasa "gagal" kalau diabaikan.

Ini bentuk syirik kecil.

Kenapa? Karena kita menjadikan manusia sebagai sumber kebahagiaan kita—padahal seharusnya cuma Allah.

فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

"Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahfi: 110)

Kalau kebahagiaan kita tergantung likes, artinya kita sudah jadikan likes sebagai "tuhan kecil".

Dan itu bahaya.


5. Ramai tapi Sepi

Followers ribuan, tapi nggak ada yang bisa diajak curhat.
Teman online banyak, tapi pas lagi susah, siapa yang datang?

Kita hidup di zaman paling "connected" dalam sejarah manusia—tapi juga paling kesepian.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

"Orang mukmin bagi mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling menguatkan." (HR. Bukhari & Muslim)

Bangunan itu butuh fondasi yang kuat—bukan cuma likes dan comments.


Jadi, Apa Solusinya?

Aku nggak akan kasih 10 langkah rumit. Cukup 3 hal sederhana yang bisa dimulai sekarang:

1. Pause sebelum scroll

Setiap kali mau buka medsos, tanya diri sendiri:
"Aku buka ini buat apa?"

Kalau cuma iseng—tutup. Ganti dengan dzikir 5 menit. Atau baca Al-Qur'an satu halaman.

Dijamin, hatimu lebih tenang daripada habis nonton 100 reels.


2. Unfollow yang bikin hati sakit

Kalau ada akun yang bikin kamu iri, insecure, atau toxic—unfollow.

Ini bukan berarti kamu lemah. Ini berarti kamu menjaga hati.

Dan menjaga hati itu bagian dari iman.


3. Posting dengan niat ibadah

Sebelum posting apapun, tanya:
"Ini buat pamer atau buat berbagi?"

Rasulullah ﷺ bilang:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

"Allah tidak melihat rupa dan hartamu, tapi melihat hati dan amalmu." (HR. Muslim)

Kalau niatnya riya' (pamer), mending nggak usah posting. Kalau niatnya berbagi kebaikan—silakan, itu sedekah jariyah.


Penutup: Kembali ke Fitrah

Gen Z itu generasi yang luar biasa. Kalian punya akses informasi, kreativitas, dan keberanian yang generasi sebelumnya nggak punya.

Tapi jangan sampai potensi itu hilang cuma karena terperangkap di dunia maya.

Ingat:

Scrolling bukan ibadah.
Likes bukan pahala.
Viral bukan tujuan hidup.

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Jadi, mari kita gunakan media sosial sebagai alat dakwah, bukan jerat dunia.

Mari kita hidup untuk ridha Allah, bukan untuk viral.

Mari kita jadi generasi yang tenang hatinya—bukan cuma rame di timeline.


Wallahu a'lam. Semoga bermanfaat.

Untuk Gen Z yang ingin hidup lebih bermakna.
Semarang, 21 November 2025

Artikel Populer

Apa rahasia di balik kesuksesan para miliarder?

ANATOMI KECANDUAN: Bagaimana Drama Korea Merampok Waktu Hidup Lo

Sabar yang Hidup – Bukan Pasif, Tapi Penuh Daya

PUBLIKASI

  • Sedang memuat...

Arsip