Komunikasi yang Berwibawa
Komunikasi yang Berwibawa: Seni Berbicara Menurut Tuntunan Islam
Dalam ajaran Islam, komunikasi bukan sekadar alat bertukar informasi—ia adalah amanah, bentuk ibadah, dan cermin akhlak mulia. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pernyataan ini menegaskan bahwa setiap kata yang keluar dari lisan seorang mukmin harus melalui pertimbangan: apakah ia membawa manfaat, kebenaran, dan kedamaian? Maka, komunikasi yang efektif dalam perspektif Islam tidak hanya soal teknik, tetapi juga niat, akhlak, dan kesadaran bahwa Allah Maha Mendengar.
Kewibawaan bicara bukan datang dari jabatan atau volume suara, melainkan dari ketenangan, kejelasan, dan kejujuran—kualitas yang tercermin dalam cara Rasulullah ﷺ berbicara: pelan, terukur, dan penuh makna.
1. Arsitektur Vokal: Suara yang Tenang, Hati yang Tawakkal
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya.” (QS. Al-Isra’: 110)
Ayat ini mengajarkan prinsip keseimbangan—tidak berlebihan, tidak pula kurang. Dalam komunikasi, ini berarti:
- Bicara dengan ritme stabil—tidak tergesa-gesa seperti orang lari dari bahaya, juga tidak terlalu lambat hingga memicu kebosanan.
- Gunakan suara rendah yang tenang, karena “sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah yang sedikit namun mencukupi” (HR. Al-Baihaqi).
- Manfaatkan kebisuan yang bermakna. Diam sesaat sebelum menjawab bukan tanda lemah, tapi bukti tafakur—sebagaimana Rasulullah ﷺ sering diam sejenak sebelum berbicara.
2. Struktur Verbal: Kejelasan sebagai Wujud Amanah
Berbicara secara jelas dan terstruktur adalah bentuk amanah. Ketika kita berkomunikasi—apalagi dalam urusan penting seperti dakwah, nasihat, atau kepemimpinan—maka kejelasan adalah hak audiens.
Rasulullah ﷺ selalu menyampaikan pesan dengan cara:
“Perumpamaanku dan perumpamaan yang diutus denganku seperti seorang yang datang kepada kaumnya dan berkata: ‘Aku melihat pasukan musuh dengan mata kepalaku sendiri…’”
Beliau menggunakan analogi, struktur yang logis, dan langsung pada inti. Beliau tidak bertele-tele. Maka dalam komunikasi kita:
- Hindari kata-kata yang meragukan seperti “mungkin”, “kayaknya”, atau “entahlah”—karena itu mengurangi kepercayaan dan menunjukkan keraguan hati.
- Gunakan kalimat yang jelas: “Ada dua hal yang ingin saya sampaikan…” atau “Inti dari masalah ini adalah…”
- Berhenti ketika pesan telah sampai. Jangan memperpanjang pembicaraan hanya untuk menunjukkan kehebatan diri.
3. Persuasi dengan Hikmah: Mendekati Hati, Bukan Memaksa Akal
Allah berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini menjadi landasan utama komunikasi Islam: lembut, bijak, dan penuh pertimbangan.
- Mulailah dengan memahami perasaan lawan bicara—seperti Nabi Musa yang meminta kepada Allah agar diberi saudaranya Harun sebagai penolong, karena “lidahku terikat” (QS. Thaha: 27–30).
- Ajukan pertanyaan yang mengajak berpikir, bukan menyerang: “Menurutmu, apa yang terbaik untuk kita lakukan?”
- Gunakan kisah-kisah nyata atau kisah para Nabi—karena Al-Qur’an sendiri penuh dengan qashash yang menyentuh hati.
4. Menghadapi Konflik dengan Sabar dan Adil
Dalam situasi sulit, seorang mukmin diajarkan untuk tidak membalas keburukan dengan keburukan. Allah berfirman:
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itulah yang lebih dekat kepada ketakwaan.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Oleh sebab itu:
- Kritiklah perilaku, bukan orangnya. Katakan: “Tindakan ini kurang tepat,” bukan “Kamu memang ceroboh.”
- Kendalikan emosi dengan napas dan diam sejenak—ingatlah sabda Nabi: “Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Abu Dawud)
- Gunakan bahasa yang menjaga martabat, karena Islam melarang ghibah, mencela, atau menyakiti sesama dengan lisan.
5. Awal dan Akhir yang Diberkahi
Dalam khutbah, nasihat, atau presentasi, 8 detik pertama adalah pintu masuk ke hati. Dan penutup adalah kesan yang tertinggal.
Ikuti sunnah Nabi ﷺ yang selalu membuka dengan kalimat seperti:
“Wahai manusia…” atau “Maukah aku beritahu kepadamu tentang sebaik-baik amal?”
Penutupnya pun selalu menyentuh akhirat:
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka ia akan difahamkan dalam urusan agama…”
Maka dalam komunikasi sehari-hari:
- Buka dengan kalimat yang menyentuh kebutuhan atau rasa penasaran: “Tahukah Anda, ada satu kebiasaan kecil yang bisa ubah hidup kita?”
- Akhiri dengan pesan inti yang jelas dan doa: “Semoga Allah memudahkan urusan kita semua dalam kebaikan.”
- Buat penutup yang mengajak pada kebaikan bersama—karena dakwah sejati adalah kolaborasi, bukan dominasi.
Penutup: Komunikasi sebagai Ibadah
Ketika kita menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari lisan kita akan dimintai pertanggungjawaban—sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kalimat yang diridhai Allah, padahal ia tidak menyangka akan sampai pada kedudukan tertentu, lalu Allah menaikkannya karena kalimat itu…” (HR. Bukhari)—maka kita akan lebih hati-hati, lebih lembut, dan lebih penuh makna dalam berbicara.
Menguasai seni berbicara bukan untuk memenangkan debat, tapi untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang paling layak diterima oleh hati. Seperti air yang mengalir: tenang, jernih, dan menyuburkan.
وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang paling baik.’” (QS. Al-Isra’: 53)