Fleksibilitas Siasah Syariah
Fleksibilitas Siasah Syariah: Memahami NKRI dalam Perspektif Islam
Perdebatan tentang bentuk negara ideal menurut Islam telah menjadi diskusi panjang di kalangan umat Muslim Indonesia. Namun, sebuah perspektif menarik datang dari kajian mendalam tentang Siasah Syariah (politik syariah) yang menghadirkan pandangan fresh tentang bagaimana Islam memandang sistem kenegaraan, termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Perjalanan Transformatif: Dari Penolakan hingga Penerimaan
Salah satu hal paling menarik dalam diskusi ini adalah kisah Ustaz Para Wijayanto, seorang mantan Amir Jemaah Islamiyah yang mengalami transformasi pemikiran signifikan. Dari seorang yang dahulu memperjuangkan negara Islam dan khilafah, beliau kemudian menerima sistem NKRI setelah melakukan evaluasi ulang berdasarkan kajian syariah yang mendalam. Perubahan ini bukan karena kompromi, melainkan hasil dari pemahaman yang lebih komprehensif tentang fleksibilitas politik dalam Islam.
Memahami Esensi Siasah Syariah
Diskusi ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Aqil Al-Hambali (wafat 513 H), seorang ulama Salaf yang dikenal rasional, berorientasi pada tujuan syariah (maqasidi), dan moderat. Beliau mendefinisikan politik atau kebijakan pemerintah sebagai:
"Setiap tindakan yang membuat manusia menjadi lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan."
Yang luar biasa dari definisi ini adalah pengakuan bahwa kebijakan boleh dilakukan meskipun Rasulullah SAW tidak menetapkannya secara langsung dan tidak pula turun wahyu tentangnya. Ini membuka ruang ijtihad yang luas dalam urusan kenegaraan.
Konsep Fleksibilitas dalam Politik Islam
Berbeda dengan ibadah yang bersifat tsawabit (tetap dan baku), masalah Siasah Syariah dikategorikan sebagai muamalat yang bersifat mutaghayirat—berubah-ubah dan fleksibel. Sistem politik harus dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman, waktu, tempat, dan definisi kemaslahatan.
Bahkan para sahabat Nabi membuat kebijakan-kebijakan baru yang tidak ada contohnya dari Rasulullah, seperti pengkodifikasian Al-Qur'an dan penyatuan mushaf. Ini menunjukkan bahwa tidak semua urusan pemerintahan harus ada nash (teks) syariat yang eksplisit.
Empat Pilar Prinsip Dasar Syariah
Tujuan utama Syariah adalah mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan mencegah kerusakan. Sistem politik yang dapat diterima harus mendukung tercapainya empat pilar prinsip dasar:
- Hikmah (kebijaksanaan)
- Rahmat (kasih sayang)
- Keadilan
- Maslahat (kepentingan umum)
Selama sistem yang dibuat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ini, sistem tersebut dapat diterima meskipun tidak ada nasnya secara eksplisit.
Evolusi Konsep Negara dalam Pemikiran Islam
Menariknya, istilah-istilah dalam konsep kenegaraan Islam selalu berkembang dan merupakan wilayah ijtihad ulama, bukan sesuatu yang baku dari Al-Qur'an atau Hadis:
Darul Islam dan Darul Kufur muncul kira-kira pada masa Khalid bin Walid setelah terjadinya pembukaan wilayah (futuhat), bukan di zaman Nabi.
Darul Ahdi (Negara Perjanjian) dikembangkan oleh Imam Syafi'i sebagai kategori ketiga untuk wilayah yang memiliki perjanjian damai.
Darul Murakkab (Negara Komposit) dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah saat invasi Mongol. Konsep ini merujuk pada wilayah di mana pemimpinnya mungkin Muslim tetapi tidak menjalankan hukum Islam secara formal, namun wilayah itu tidak dihukumi kafir. Konsep ini memberikan dasar luar biasa untuk memahami negara bangsa modern.
NKRI dalam Kacamata Siasah Syariah
NKRI, yang telah terbukti mampu menjaga keutuhan negara dan menjamin kenyamanan beragama selama 80 tahun, dipandang sebagai ijtihad yang dapat diterima. Negara ini bisa dilihat sesuai dengan konsep Darul Ahdi atau Darul Murakkab Ibnu Taimiyah.
Yang terpenting adalah substansi (jauhar)—bagaimana negara mendatangkan maslahat bagi rakyat—bukan sekadar bungkusnya (mazhar), seperti apakah disebut Republik, Khilafah, atau nama lainnya. Prinsip-prinsip dalam Pancasila dan UUD 1945 dapat dianggap substansinya tidak bertentangan dengan Syariat, karena mengakomodasi nilai-nilai seperti keadilan, hikmah, dan musyawarah.
Sistem versus Pelaku: Di Mana Letak Masalahnya?
Salah satu kesimpulan penting dari diskusi ini adalah bahwa masalah yang dihadapi Indonesia saat ini bukanlah sistemnya, tetapi pelakunya. Meskipun undang-undang mengharuskan pejabat jujur (sesuai nilai Islam), masih terjadi korupsi. Ini adalah kesalahan pelakunya, bukan undang-undangnya.
Sejarah Islam sendiri menunjukkan bahwa praktik kepemimpinan di masa lalu—bahkan di era Khulafaur Rasyidin dan Dinasti setelahnya—tidak selalu sempurna. Masih ada kezaliman, fitnah, dan korupsi. Islam itu ideal, tetapi umat Muslim belum tentu ideal. Oleh karena itu, umat Islam memiliki tanggung jawab untuk mengisi sistem yang sudah bagus ini agar penerapannya juga bagus.
Kesimpulan: Berpikir Realistis dengan Landasan Ilmiah
Dalam menghadapi realitas politik, umat Islam harus berpikir realistis meskipun secara idealis mencintai Islam. Kita harus memilih apa yang mendekatkan kepada maslahat dan menjauhkan dari kerusakan, serta menghindari cara-cara yang menimbulkan kemungkaran besar meskipun tujuannya adalah kebaikan.
Yang tak kalah penting adalah membangun sanad keilmuan (bukan hanya sanad nasab) dan pemahaman mendalam (diroyah) agar tidak terjadi distorsi pemahaman, terutama tentang kenegaraan, yang dapat menyebabkan pengkafiran atau seruan untuk memerangi negara.
Fleksibilitas dalam Siasah Syariah mengajarkan kita bahwa Islam memberikan ruang yang luas untuk beradaptasi dengan konteks zaman, selama substansi keadilan, maslahat, dan kebijaksanaan tetap terjaga. NKRI, dengan segala kekurangan pelaksanaannya, adalah bentuk ijtihad yang sah dan dapat diterima dalam kerangka pemikiran Islam yang komprehensif.