Kecanduan Drama Korea
Kecanduan Drama Korea: Tinjauan dari Psikologi Modern dan Spiritualitas Islam
Dalam dekade terakhir, drama Korea (K-drama) telah menjadi fenomena global yang menjangkau jutaan penonton di seluruh dunia, termasuk di kalangan Muslim. Cerita yang menarik, akting yang kuat, visual yang indah, serta narasi yang penuh emosi menjadikan K-drama sangat adiktif. Namun, di balik hiburan tersebut, banyak individu—terutama remaja dan dewasa muda—mengalami kecanduan menonton yang berdampak pada kesehatan mental, produktivitas, bahkan spiritualitas. Artikel ini mengupas fenomena kecanduan drama Korea dari dua perspektif: psikologi modern dan spiritualitas Islam.
1. Perspektif Psikologi Modern
Dalam kajian psikologi, kecanduan menonton drama Korea dapat dikategorikan sebagai behavioral addiction (kecanduan perilaku), mirip dengan kecanduan media sosial atau game. Beberapa faktor psikologis yang mendorong kecanduan ini antara lain:
a. Otak yang Terbius oleh Ilusi Kenikmatan
Setiap episode drama Korea dirancang untuk menciptakan ketegangan emosional, cliffhanger, dan resolusi yang memuaskan. Hal ini merangsang pelepasan dopamin—neurotransmiter yang memberikan rasa senang—di otak. Penonton yang terus-menerus mengejar “rasa senang” ini akan terdorong untuk menonton episode berikutnya, menciptakan siklus kecanduan yang sulit diputus.
b. Eskapisme dan Penghindaran Realita
Banyak penonton menggunakan K-drama sebagai pelarian dari stres, tekanan akademik, masalah keluarga, atau kekecewaan hidup. Dunia fiksi yang ditawarkan drama Korea—dengan kisah cinta ideal, kehidupan mewah, dan relasi interpersonal yang harmonis—menjadi “realitas alternatif” yang lebih nyaman daripada menghadapi dunia nyata.
c. Efek FOMO (Fear of Missing Out)
Budaya populer yang berkembang di media sosial turut memperkuat kecanduan. Ketika teman-teman membahas episode terbaru atau karakter favorit, seseorang merasa “ketinggalan” jika tidak ikut menonton. Ini memicu keinginan kompulsif untuk terus mengikuti tayangan, meski mengganggu waktu tidur, belajar, atau bekerja.
2. Perspektif Spiritualitas Islam
Islam tidak melarang hiburan secara mutlak, namun memberikan batasan yang jelas agar hiburan tidak mengalihkan manusia dari tujuan hidup utamanya: beribadah kepada Allah dan memperbaiki diri.
a. Waktu sebagai Amanah
Rasulullah ﷺ bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ“Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu karenanya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. al-Bukhari)
Waktu luang yang seharusnya digunakan untuk dzikir, membaca Al-Qur’an, belajar ilmu bermanfaat, atau berinteraksi dengan keluarga, justru dihabiskan berjam-jam menonton drama fiksi yang tidak memberi manfaat akhirat. Ini termasuk bentuk ghaflah (kelalaian spiritual).
b. Pengaruh Konten terhadap Hati
Dalam banyak K-drama, nilai-nilai yang ditampilkan—seperti hubungan pra-nikah, pacaran bebas, materialisme, atau idealisasi cinta duniawi—bertentangan dengan prinsip akhlak Islam. Hati yang terbiasa menikmati konten semacam ini bisa menjadi keras dan jauh dari ketenangan spiritual. Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ﴿١﴾ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴿٢﴾ وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ ﴿٣﴾“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. Al-Mu’minun: 1–3)
Kata “lagh-wu” (tiada berguna) dalam ayat ini mencakup segala hiburan yang tidak bermanfaat, apalagi yang menyesatkan.
c. Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Islam mengajarkan prinsip tawazun (keseimbangan). Menonton hiburan boleh saja selama tidak berlebihan, tidak melanggar syariat, dan tidak mengganggu kewajiban. Namun ketika hiburan menjadi pusat perhatian dan menguasai pikiran, maka ia telah melampaui batas.
3. Solusi Holistik: Integrasi Psikologis dan Spiritual
Untuk mengatasi kecanduan drama Korea, dibutuhkan pendekatan yang menyentuh aspek psikologis dan spiritual:
- Batasi waktu menonton dengan teknik manajemen waktu seperti time blocking.
- Ganti kebiasaan dengan aktivitas bermakna: membaca buku, berolahraga, mengikuti kajian, atau berkontribusi sosial.
- Evaluasi niat: Tanyakan pada diri sendiri, “Apakah ini mendekatkanku pada Allah atau menjauhkanku?”
- Puasa media: Sementara waktu menjauhi tontonan yang tidak perlu, seperti puasa Senin-Kamis, untuk membersihkan hati dan pikiran.
- Minta pertolongan Allah melalui doa dan istighfar, karena perubahan sejati dimulai dengan taufik dari-Nya.
Penutup
Drama Korea bukanlah dosa dalam dirinya sendiri, tetapi ketika menontonnya menjadi kebiasaan yang menguasai diri, menghabiskan waktu, dan menodai hati, maka ia berubah menjadi ujian spiritual. Dengan kesadaran diri, disiplin, dan kembali pada nilai-nilai Islam, kita bisa menjadikan hiburan sebagai pelengkap hidup—bukan tujuan hidup.
Allah berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang diberikan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)
Semoga kita termasuk orang-orang yang pandai menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, serta tidak terperangkap dalam kesenangan semu yang melalaikan.