Putusan MK: Polisi Aktif Harus Mundur dari Jabatan Sipil
Putusan MK: Polisi Aktif Harus Mundur dari Jabatan Sipil
Peluang Reformasi atau Tsunami Jenderal?
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting yang mengubah lanskap penempatan personel Kepolisian Republik Indonesia di berbagai instansi pemerintahan. Putusan yang bersifat final dan mengikat ini mengharuskan anggota Polri aktif untuk mengundurkan diri atau pensiun jika ingin menduduki jabatan sipil di luar kepolisian.
Isi Putusan
MK mengabulkan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Hakim Konstitusi Ridwan Mansor menegaskan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Secara spesifik, MK menyatakan frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" dalam penjelasan Pasal 28 ayat 3 UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Gugatan ini diajukan oleh dua advokat, Syamsul Jahidin dan Christian Adrian Sitite, yang menilai undang-undang tersebut multitafsir dan berpotensi menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan.
Dampak Terhadap Ribuan Jabatan
Putusan ini berdampak signifikan mengingat diperkirakan ada sekitar 4.000 jabatan yang saat ini ditempati oleh polisi di berbagai instansi sipil. Sebelum putusan, sejumlah perwira tinggi Polri menduduki posisi strategis seperti Irjen Kementerian, Sekjen DPD RI, hingga Wakil Kepala lembaga negara.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Sandi Nugroho menyatakan bahwa Polri menghormati putusan MK dan akan menindaklanjuti serta mengkaji keputusan tersebut. Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara menegaskan putusan yang final dan mengikat pasti akan dijalankan, dan pejabat polisi akan diminta mengundurkan diri dari kementerian atau lembaga jika aturannya demikian.
Dua Pandangan Berbeda
Peluang Reformasi
Irjen Purnawirawan Arianto Suttadi, Penasihat Ahli Kapolri, memandang positif putusan ini. Menurutnya, keputusan MK tidak menimbulkan masalah bagi Polri karena institusi kepolisian saat ini masih kekurangan petugas. Pengembalian perwira tinggi ke institusi justru dilihat sebagai peluang untuk mempercepat proses transformasi dan perbaikan citra Polri.
"Polri membutuhkan para petinggi dan pejabat yang hebat untuk memperbaiki diri, terutama dalam transformasi perilaku 460.000 personel di lapangan."
Transformasi yang dimaksud mencakup perbaikan di bidang pelayanan, pengawasan, dan penanganan hedonisme serta impunitas.
Arianto menyatakan pengembalian jenderal tidak akan menyebabkan kebingungan penempatan karena masih banyak pekerjaan. Misalnya, membuat satuan tugas sebagai pengendali butir-butir perubahan. Bagi lembaga sipil yang membutuhkan figur polisi, tidak perlu khawatir kehilangan, asalkan anggota polisi tersebut pensiun terlebih dahulu sebelum masuk ke lembaga tersebut.
Tsunami Jenderal
Sebaliknya, Bambang Rukminto, Pengamat Kepolisian dari ISESS, memandang penarikan perwira tinggi akan memunculkan "tsunami" para jenderal yang kembali ke tubuh Polri. Ini akan menjadi masalah di level atas, khususnya pejabat Bintang Tiga, karena jabatan struktural terbatas—hanya sekitar enam posisi utama. Banyak yang akan menjadi "non-job" atau tanpa jabatan.
Bambang menilai masalah utama di Polri terkait manajemen SDM dan inflasi pangkat Komisaris Besar (Kombes). Secara filosofis, polisi tidak dicetak untuk menjadi birokrat di kementerian atau lembaga, melainkan fokus pada tugas kepolisian seperti pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Harkammas) dan penegakan hukum.
"Penempatan di luar struktur dapat menimbulkan konflik kepentingan... Polri adalah aparatur negara, bukan aparatur pemerintah."
Bambang juga mengkhawatirkan eksodus ini bisa menimbulkan goncangan dan melonggarkan pengawasan di institusi sipil yang ditinggalkan.
Pilihan dan Kesiapan
Putusan MK memberikan konsekuensi tegas: perwira tinggi yang menduduki jabatan sipil harus kembali ke Polri atau memilih pensiun dini dan alih status untuk tetap berada di kementerian atau lembaga tersebut.
ISESS menyarankan dua kesiapan yang harus dilakukan:
- Kesiapan mental — anggota harus siap memilih antara tetap di Polri atau mengundurkan diri untuk bertugas di kementerian atau lembaga lain.
- Kesiapan organisasi — Polri harus segera mempersiapkan pengembangan organisasi dan menyiapkan jabatan-jabatan baru untuk menampung mereka yang kembali.
Kesimpulan
Putusan MK ini ibarat kapal induk besar yang memanggil pulang semua kapal perangnya yang sebelumnya ditugaskan di pelabuhan sipil. Bagi sebagian pihak, ini adalah momentum untuk merombak dan memperkuat armada inti agar lebih cepat dan efisien. Namun bagi pihak lain, penumpukan mendadak kapal perang di dermaga yang terbatas akan menyebabkan kemacetan dan kebutuhan mendesak untuk membangun dermaga atau jalur penempatan baru.
Yang pasti, putusan final dan mengikat ini harus dijalankan tanpa perdebatan. Pertanyaannya kini adalah: apakah Polri siap mengubah tantangan ini menjadi momentum reformasi sejati?