seri 4 - Menghadapi Bayangan dalam Diri: Tantangan Internal dalam Memupuk Syaja’ah
Jika Seri 1–3 membahas konsep, pengukuran, dan aplikasi syaja’ah, maka Seri 4 ini mengajak kita menoleh ke dalam: apa yang menghambat keberanian bijaksana dalam diri kita sendiri? Karena musuh terbesar syaja’ah bukanlah tekanan luar, melainkan keraguan, rasa takut, dan kebiasaan menghindar yang tumbuh diam-diam dalam jiwa.
1. Tiga Musuh Internal Syaja’ah
Dalam Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa penghalang utama syaja’ah nafsiyah adalah:
- Al-Khawf al-Mudhill (Ketakutan yang Menghinakan): Takut pada celaan manusia lebih dari takut pada murka Allah. Inilah yang membuat seseorang diam ketika melihat kezaliman.
- Al-Wahn (Kelemahan Jiwa): Rasa lemah yang lahir dari kecintaan berlebihan pada dunia—takut kehilangan jabatan, uang, atau popularitas.
- Al-Taqallud (Kebiasaan Buta): Mengikuti arus mayoritas tanpa pertimbangan moral, karena “semua orang juga begitu”.
Ketiganya adalah bentuk penyakit hati yang mengikis fondasi spiritual syaja’ah: taqwa, yaqin, dan tawakal.
2. Antara Takut dan Waspada: Batas Tipis Syaja’ah dan Kecerobohan
Syaja’ah bukan berarti mengabaikan risiko. Justru, keberanian bijaksana melihat risiko dengan jernih, lalu memutuskan berdasarkan prinsip—bukan emosi.
Di sinilah peran tafakkur (perenungan) dan istikhara (meminta petunjuk Allah) menjadi penting. Nabi Muhammad ﷺ sendiri tidak pernah bertindak tanpa pertimbangan—beliau berkata: “Al-hazm min Allāh, wal ‘ajalatu min al-shayṭān” (“Kehati-hatian itu dari Allah, sedangkan tergesa-gesa itu dari setan.”)
“Keberanian tanpa pertimbangan adalah kebodohan. Tapi pertimbangan tanpa keberanian adalah kelemahan.” — Integrasi hikmah Ibnu Qayyim dan psikologi keputusan modern
3. Solusi dari Tasawuf: Membersihkan Cermin Hati
Tradisi tasawuf menawarkan metode membersihkan penghalang internal melalui:
- Mujahadah: Latihan disiplin diri—misalnya, memaksa diri berkata jujur dalam situasi kecil.
- Muraqabah: Menyadari bahwa Allah selalu melihat—sehingga rasa malu kepada-Nya mengalahkan takut pada manusia.
- Tafakkur al-Mawt: Merenungkan kematian, agar dunia tidak terlalu dipegang erat.
Dr. Sahri dalam Mutiara Akhlak Tasawuf menekankan: “Hati yang bersih akan otomatis memilih kebenaran—karena cahaya iman di dalamnya tidak terhalang oleh debu takut dan cinta dunia.”
4. Perspektif Psikologi Positif: Membangun Self-Efficacy Moral
Dalam psikologi modern, keyakinan diri untuk bertindak sesuai nilai disebut moral self-efficacy. Seseorang dengan self-efficacy tinggi percaya: “Saya mampu tetap jujur meski semua orang curang.”
Strategi membangunnya meliputi:
- Pengalaman sukses kecil: Mulai dari hal sederhana (misalnya, mengembalikan uang kembalian berlebih).
- Model peran: Belajar dari kisah K.H. Hasyim Asy’ari atau Nyai Ahmad Dahlan.
- Afimasi spiritual: Mengulang ayat seperti QS. Ali Imran: 139—“Janganlah kamu bersikap lemah…”—sebagai mantra penguat mental.
Penutup: Syaja’ah Dimulai dari Satu Langkah Kecil
Tidak perlu menunggu momen heroik untuk menjadi pemberani. Cukup hari ini:
- Berani meminta maaf duluan,
- Berani tidak ikut gosip,
- Berani diam saat emosi memuncak.
Karena syaja’ah bukan tentang seberapa besar risikonya, tapi seberapa lurus niat dan seberapa kuat fondasi imannya.
Pada Seri 5, kita akan menyusun “Panduan Praktis Memupuk Syaja’ah Sehari-hari”—dengan latihan harian, doa penguat hati, dan refleksi moral mingguan yang menggabungkan hikmah ulama dan prinsip psikologi positif.
Seri Syaja’ah (Keberanian) dalam Perspektif Islam
- Seri 1 - Syaja’ah: Keberanian yang Terukur dan Bijaksana dalam Perspektif Islam
- Seri 2 - Mengukur Syaja’ah: Menuju Skala Psikologis Islami yang Terintegrasi
- Seri 3 - Aplikasi Syaja’ah dalam Kehidupan Modern: Antara Prinsip, Tekanan, dan Tanggung Jawab Sosial
- Seri 4 - Menghadapi Bayangan dalam Diri: Tantangan Internal dalam Memupuk Syaja’ah
- Seri 5 - Panduan Harian Memupuk Syaja’ah: Latihan, Doa, dan Refleksi Moral
Sumber: persadani.org