Feed vs. Hati: Melawan Wabah Egosentrisme & Narsisme di Era Media Sosial
Di ruang pamer tanpa batas yang kita sebut media sosial, di mana jumlah "like" kerap disamakan dengan nilai diri dan komentar pujian menjadi penguat ego, benih-benih egosentrisme dan narsisme menemukan lahan suburnya.
Platform seperti Instagram dan TikTok tidak hanya memantulkan wajah kita, tetapi juga memperkuat ilusi bahwa dunia adalah panggung yang berputar hanya untuk "aku"—setiap pencapaian diumbar, setiap perjalanan dibingkai untuk pujian, dan hidup orang lain menjadi penanda perbandingan.
Scroll demi scroll, kita tanpa sadar dapat terjebak dalam labirin diri sendiri, di mana batas antara dokumentasi hidup dan kultus diri menjadi samar. Lantas, di tengah arus budaya digital yang mendorong kita untuk terus menjadi "pusat perhatian" ini, bagaimanakah kita membedakan kepercayaan diri yang sehat dari kesombongan yang beracun, dan strategi apa yang dapat kita terapkan—baik secara psikologis maupun spiritual—untuk tetap membumi dan terhindar dari jerat narsisme modern ini?
![]() |
| image @bi-maristan.com |
1. Apa itu Egosentrisme dan Narsisme?
Meski sering terlihat mirip, egosentrisme dan narsisme adalah dua konsep yang berbeda.
A. Egosentrisme (Egocentrism)
- Pengertian: Egosentrisme adalah ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif diri sendiri dengan perspektif orang lain. Seseorang yang egosentris percaya bahwa cara mereka melihat dunia adalah satu-satunya cara yang ada, dan mereka tidak menyadari bahwa orang lain mungkin memiliki pandangan, perasaan, atau pemikiran yang berbeda.
- Ciri-ciri:
- Menganggap pendapatnya paling benar dan mengabaikan pendapat orang lain.
- Kesulitan memahami perasaan atau kebutuhan orang lain (empati rendah).
- Sering menyela pembicaraan karena menganggap yang dibicarakannya lebih penting.
- Merasa bahwa aturan atau norma sosial tidak berlaku untuk mereka.
- Penting untuk diketahui: Egosentrisme adalah tahap perkembangan kognitif yang normal pada anak-anak (terutama usia 2-7 tahun menurut Piaget). Namun, ketika pola ini menetap hingga dewasa, itu menjadi masalah.
B. Narsisme (Narcissism)
- Pengertian: Narsisme, atau lebih tepatnya Narcissistic Personality Disorder (NPD), adalah gangguan kepribadian yang ditandai dengan kebutuhan yang berlebihan untuk dikagumi, rasa diri yang grandios (megalomania), dan kurangnya empati. Narsisme bukan sekadar percaya diri, tetapi sebuah distorsi kepribadian yang mendalam.
- Ciri-ciri (berdasarkan DSM-5):
- Rasa diri yang grandios: Melebih-lebihkan prestasi dan bakat, berharap diakui sebagai superior tanpa pencapaian yang sepadan.
- Terobsesi dengan fantasi: Tentai kesuksesan, kekuasaan, kecerdasan, kecantikan, atau cinta ideal yang tak terbatas.
- Percaya bahwa dirinya "spesial" dan unik: Hanya bisa bergaul dengan orang-orang yang statusnya setara.
- Membutuhkan pujian yang berlebihan.
- Memiliki rasa berhak (sense of entitlement): Mengharapkan perlakuan khusus dan kepatuhan otomatis terhadap harapannya.
- Eksploitatif: Memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri.
- Kurang empati: Tidak mau mengenali atau mengidentifikasi perasaan dan kebutuhan orang lain.
- Sering iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lain iri padanya.
- Menunjukkan sikap arogan dan sombong.
Perbedaan Utama:
- Egosentris tidak tahu bahwa perspektif orang lain berbeda. Ini masalah kognitif (cara berpikir).
- Narsis tahu bahwa perspektif orang lain berbeda, tetapi tidak peduli. Ini masalah kepribadian dan empati.
2. Bagaimana Seseorang Bisa Terjangkiti?
Penyebabnya kompleks dan biasanya kombinasi dari beberapa faktor:
A. Egosentrisme pada Dewasa:
- Gagal melewati tahap perkembangan: Tidak belajar untuk "berbagi" perspektif di masa kanak-kanak.
- Pola asuh: Dimanja berlebihan atau selalu ditempatkan sebagai pusat perhatian tanpa diajari empati.
- Isolasi sosial: Kurangnya interaksi dengan orang yang berbeda pandangan.
B. Gangguan Kepribadian Narsistik (NPD):
- Faktor Biologis: Kelainan pada struktur otak, khususnya area yang berhubungan dengan empati, regulasi emosi, dan harga diri.
- Faktor Lingkungan:
- Pola Asuh: Diyakini sebagai faktor utama. Bisa berupa:
- Pujian berlebihan dan tanpa syarat untuk hal-hal yang sepele.
- Pengasuhan yang overprotective atau sebaliknya, pengabaian dan pelecehan.
- Ekspektasi orang tua yang terlalu tinggi dan tidak realistis.
- Trauma masa kecil: Pelecehan emosional atau fisik yang membuat anak membangun "diri palsu" yang kuat untuk melindungi "diri sejati" yang rapuh.
- Pola Asuh: Diyakini sebagai faktor utama. Bisa berupa:
3. Siapa Tokoh Psikologinya?
Beberapa tokoh kunci dalam memahami konsep ini:
- Jean Piaget: Seorang psikolog perkembangan Swiss yang memperkenalkan dan mempopulerkan konsep "Egosentrisme" dalam teorinya tentang tahapan perkembangan kognitif anak.
- Sigmund Freud: Psikoanalis Austria yang pertama kali membahas narsisme secara psikologis dalam esainya "On Narcissism" (1914). Ia melihat narsisme sebagai bagian normal dari perkembangan libido, tetapi bisa menjadi patologis.
- Heinz Kohut: Seorang psikoanalis Amerika yang mengembangkan "Psikologi Diri" (Self Psychology). Ia menjelaskan narsisme sebagai hasil dari gangguan dalam proses "pencerminan" (mirroring) antara anak dan pengasuh di masa kecil.
- Otto Kernberg: Seorang psikiater dan psikoanalis Amerika yang terkenal dengan teorinya tentang gangguan kepribadian borderline dan narsistik. Ia melihat NPD sebagai akibat dari rasa marah dan harga diri yang rapuh yang dibentuk di masa kanak-kanak
4. Bagaimana dengan Islam?
Islam sangat menentang sifat egosentrisme dan narsisme karena bertentangan dengan ajaran utamanya, yaitu penghambaan diri kepada Allah ( Tauhid) dan berbuat baik kepada sesama.
- Lawan dari Tawadhu' (Rendah Hati): Narsisme adalah puncak dari kesombongan (takabbur). Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat zarrah." (HR. Muslim).
- Mengingkari Hakikat Diri: Manusia diciptakan dari tanah yang hina dan akan kembali kepada Allah. Sombong berarti lupa asal-usulnya dan menganggap kelebihan yang dimilikinya berasal dari dirinya sendiri, bukan anugerah Allah. "...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa..." (QS. Al-Hujurat: 13).
- Merusak Hubungan Sosial (Ukhuwah): Sifat narsis dan egosentris merusak persaudaraan, menimbulkan permusuhan, dan menghalangi seseorang untuk berbuat baik dan berempati kepada orang lain.
- Ujub (Bangga Diri): Konsep ujub dalam Islam sangat dekat dengan narsisme, yaitu kekaguman berlebihan pada diri sendiri yang melupakan bahwa semua itu adalah pemberian Allah. Ujub dapat menghapus pahala amal kebaikan.
5. Cara Menghindarinya
Berikut adalah cara untuk mencegah dan mengatasi sifat egosentrisme dan narsisme:
A. Dari Sudut Pandang Psikologis:
- Latih Empati: Berusaha aktif untuk mendengarkan dan memahami perasaan orang lain. Tanyakan pada diri sendiri, "Kira-kira bagaimana perasaannya jika hal ini terjadi padanya?"
- Minta Umpan Balik: Mintalah pendapat jujur dari orang terdekat yang dipercaya tentang kekurangan diri. Terima dengan lapang dada.
- Terapi Psikologis: Untuk NPD, terapi seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau Psychodynamic Therapy dapat membantu seseorang memahami akar masalahnya dan mengubah pola pikir serta perilaku.
- Hargai Proses, Bukan Hanya Pujian: Fokuslah pada proses belajar dan berbuat baik, bukan sekadar mencari pengakuan dari luar.
- Bersosialisasi dengan Beragam Orang: Bergaul dengan orang dari latar belakang berbeda akan membuka wawasan bahwa dunia tidak berpusat pada diri kita.
B. Dari Sudut Pandang Islami:
- Perbanyak Intropeksi Diri (Muhasabah): Evaluasi diri setiap hari, akui kesalahan, dan bersyukur atas nikmat Allah.
- Perbanyak Syukur: Sadari bahwa semua kelebihan (kecerdasan, harta, kecantikan) adalah amanah dari Allah. Syukur akan mencegah rasa sombong.
- Tingkatkan Ketakwaan dan Tawadhu': Rendah hati di hadapan Allah dan sesama makhluk-Nya. Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam sifat tawadhu'.
- Ingat Mati (Muroqobatul Maut): Mengingat kematian dan kehidupan akhirat akan melunakkan hati dan mengingatkan kita pada kedudukan kita yang sebenarnya di hadapan Allah.
- Bergaul dengan Orang Saleh: Lingkungan yang baik akan mengingatkan kita ketika kita mulai lupa diri.
Penutup
Dengan menggabungkan pendekatan psikologis modern dan nilai-nilai spiritual Islam, seseorang dapat membangun kepribadian yang seimbang, rendah hati, dan penuh empati, terhindar dari jebakan egosentrisme dan narsisme.
Di tengah budaya media sosial yang mendorong pencitraan diri, kita diingatkan untuk kembali pada esensi: siapa diri kita di hadapan Allah, bukan siapa kita di mata orang lain. Dengan memadukan wawasan psikologi modern dan nilai-nilai Islam, kita bisa membangun kepribadian yang sehat, rendah hati, dan penuh kasih—jauh dari jerat egosentrisme dan narsisme.
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri."
(QS. Luqman: 18)
Sumber Referensi
- American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing.
- Piaget, J. (1952). The Origins of Intelligence in Children. New York: International Universities Press.
- Kohut, H. (1971). The Analysis of the Self. New York: International Universities Press.
- Kernberg, O. (1975). Borderline Conditions and Pathological Narcissism. New York: Jason Aronson.
- Al-Qur’an Al-Karim, Surah Al-Hujurat (49):13; Surah Luqman (31):18.
- Hadis riwayat Muslim, Kitab al-Iman, no. 91.
- Al-Ghazali. (2002). Ihya Ulumuddin (terj.). Beirut: Dar Ibn Hazm. (Tentang penyakit hati seperti ujub dan takabbur).
