“Mewujudkan masyarakat yang harmonis, inklusif, dan bebas dari paham radikal melalui pendekatan persaudaraan, edukasi, dan kolaborasi.” #SalamGayengPersaudaraan

Hamka dan Renungan tentang Manusia dalam Pencarian Agama

 

Hubungan manusia dengan agama adalah topik yang selalu relevan sepanjang zaman. Sejak dahulu, manusia terus bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial mendasar: dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita akan kembali. Berbagai jawaban telah lahir dari pertanyaan ini, mulai dari yang bersifat mistis hingga filosofis, dari keyakinan primitif hingga ajaran agama-agama samawi.

H. Abdul Malik Karim Amrullah, bergelar Datuak Indomo[2] 
serta populer dengan nama pena, Buya Hamka

 

Dialog Manusia dan Agama di Nusantara

Di Nusantara, perbincangan tentang manusia dan agama juga tidak pernah berhenti. Para ulama dan cendekiawan sejak era kolonial hingga pascakemerdekaan aktif menafsirkan hubungan keduanya. Salah satu tokoh paling menonjol adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal sebagai Buya Hamka. Lahir di Maninjau pada 16 Februari 1908, Hamka berkembang menjadi ulama, cendekiawan, sastrawan, dan pahlawan nasional yang warisan intelektualnya tetap berpengaruh hingga kini.

Hamka adalah penulis yang sangat produktif. Tidak kurang dari 118 jilid karyanya telah terbit, belum termasuk ratusan tulisannya di majalah Panji Masyarakat. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain Pandangan Hidup Muslim, Dari Hati ke Hati, dan Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam. Dalam karya-karya inilah Hamka sering membahas tentang manusia dan agama, tema yang ia anggap sebagai inti kehidupan.

Akal dan Pencarian Manusia

Dalam Penuntun Jiwa, Hamka menjelaskan bahwa Allah SWT membekali manusia dengan akal dan pancaindra. Melalui kedua anugerah ini, manusia mampu memahami sifat-sifat alam dan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Dengan akal, manusia menyadari bahwa keteraturan alam mustahil terwujud tanpa adanya Pengatur.

"Tuhan menjadikan segala sesuatu dengan sebab dan musababnya," tulis Hamka.

Namun sejarah membuktikan bahwa pencarian manusia sering kali keliru. Dalam Pelajaran Agama Islam, Hamka menggambarkan bagaimana manusia gua menjawab pertanyaan hidup dengan khayalan. Mereka memuja hutan, batu, gunung, hingga hewan, yang kemudian melahirkan dinamisme dan totemisme.

Seiring berkembangnya peradaban pertanian, manusia mulai menyadari peran hujan, matahari, dan bulan. Mereka pun memuja benda-benda langit sebagai sumber kehidupan. Hamka menulis bahwa pada masa itu, matahari dianggap sebagai "Batara Kala" dan bulan disembah karena diyakini memengaruhi pasang-surut laut serta kesuburan tanaman.

Ketika pengetahuan manusia semakin maju, muncul pula pemujaan terhadap roh nenek moyang dan kekuatan gaib lainnya. Menurut catatan Hamka, tradisi ini dapat ditemukan di berbagai bangsa: dari konsep "Putra Langit" di Tiongkok hingga keyakinan bahwa Kaisar Jepang merupakan keturunan dewa matahari. Bahkan di Indonesia, sisa-sisa animisme, dinamisme, dan totemisme masih terlihat dalam tradisi menepung tawari, pemujaan keris, atau keyakinan akan tuah binatang tertentu.

Fitrah Bertuhan dan Peran Akal

Meski pencarian spiritual manusia berliku-liku, Hamka menegaskan bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa adalah fitrah manusia. Dalam Falsafah Ketuhanan, ia menulis: "Orang yang menyangkal adanya Tuhan, pada hakikatnya sedang menyangkal fitrahnya sendiri".

Seseorang boleh saja menumpuk argumen filosofis atau saintifik untuk menolak Tuhan, tetapi pada akhirnya ia tetaplah makhluk lemah yang membutuhkan tempat bersandar. Kekosongan jiwa adalah tanda bahwa manusia belum menemukan Tuhannya. Hamka menggambarkannya dengan indah dalam Pandangan Hidup Muslim: "Manusia merasa hampa karena ada kekosongan dalam hatinya. Jiwanya sepi sebab belum menemukan titik jumpa dengan Tuhannya".

Dengan tauhid, kekosongan tersebut terisi, dan tujuan hidup seseorang menjadi jelas.

Hamka menolak anggapan bahwa iman dan akal bertentangan. Dalam pandangannya, akal justru menjadi alat untuk sampai kepada iman. Ia mengutip hadis Nabi SAW:

"Tidaklah Allah menjadikan suatu makhluk pun yang lebih mulia atasnya daripada akal." (HR. At-Tirmidzi).

Akal yang sehat akan mengantar manusia kepada tauhid. Sebaliknya, ilmu yang tidak bermuara pada iman hanya akan menjerumuskan manusia pada kesombongan.

Keterbatasan Akal dan Perlunya Bimbingan Nabi

Dalam Falsafah Ketuhanan, Hamka menegaskan bahwa akal memiliki keterbatasan. Akal bisa mengenal adanya Tuhan, tetapi tidak mampu menunjukkan cara beribadah yang benar. Karena itulah, Allah mengutus para nabi sebagai pembimbing.

"Perkara yang tidak dapat diselesaikan akal dapat diatasi dengan sandaran agama dan iman".

Relevansi Pemikiran Hamka di Era Modern

Pemikiran Hamka terasa semakin relevan di era modern ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi memang mampu memecahkan banyak persoalan praktis, tetapi tidak bisa menjawab kegelisahan eksistensial manusia. Di tengah arus materialisme dan sekularisme, manusia justru kembali dihinggapi kehampaan batin.

Warisan pemikiran Hamka mengingatkan kita bahwa fitrah manusia adalah bertuhan, dan agama adalah cahaya yang menuntun pencarian itu. Ilmu pengetahuan harus berpadu dengan iman, dan akal harus diarahkan kepada tauhid. Inilah keseimbangan yang menjadi inti ajaran Islam. Dan inilah pula benteng paling kokoh agar manusia tidak tergoda oleh ideologi yang menolak eksistensi Tuhan, seperti komunisme yang jelas bertentangan dengan keimanan.

Pesan untuk Umat Islam di Tengah Perubahan Zaman

Dari pemikiran Hamka, kita dapat menangkap pesan bahwa umat Islam tidak boleh sekadar menjadi penonton di tengah perubahan zaman. Kecanggihan teknologi dan derasnya arus informasi menuntut umat untuk tetap berpegang pada nilai-nilai agama, agar tidak hanyut dalam budaya instan, gaya hidup hedonis, maupun paham anti ketuhanan yang seringkali dibungkus jargon kemajuan.

Islam yang dihayati dengan benar akan membuat umat berani mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan, dan di saat bersamaan waspada terhadap racun pemikiran yang bisa merusak iman.

Penutup

Pada akhirnya, Hamka bukan hanya seorang penulis, tetapi juga pembimbing jiwa. Ia mengajarkan bahwa manusia akan selalu mencari Tuhan, dan hanya dengan tauhid pencarian itu mencapai tujuannya. Agama menjadi cahaya, akal menjadi pelita, dan keduanya saling melengkapi. Dari sinilah lahir ketenangan jiwa dan kebahagiaan sejati.

Wallahu a'lam.

inspirasi dari Buletin Wasathiyah ke-9 

 

Video Buya Hamka 

 




 

Komentar

Artikel Populer

Bersama Mewujudkan Perubahan

Pendidikan Karakter Berbasis Surat Al-Fatihah: Sebuah Kerangka Utama Mendidik Anak

Refleksi Hari Kesaktian Pancasila: Menguatkan Jiwa Bangsa Melalui Persaudaraan, Edukasi, dan Kolaborasi