“Mewujudkan masyarakat yang harmonis, inklusif, dan bebas dari paham radikal melalui pendekatan persaudaraan, edukasi, dan kolaborasi.” #SalamGayengPersaudaraan

Memetakan Jiwa: Dari Big Five hingga Tazkiyatun Nafs [bagian 3]

Sejak dahulu, upaya untuk memetakan lorong-lorong kompleks kepribadian manusia telah menarik perhatian para pemikir dari berbagai peradaban. Dalam khazanah ilmu psikologi modern, kita mengenal model struktural seperti "Big Five Personality Traits" (Goldberg, 1993) dan "16 Personality Factors" (Cattell, 1957) yang lahir dari analisis statistik ketat untuk mendeskripsikan siapa kita. 

Namun, tahukah Anda bahwa jauh sebelum itu, para ulama dan filsuf Muslim seperti Imam Al-Ghazali dalam magnum opus-nya Ihya' 'Ulumuddin dan Ibnu Sina (Avicenna) dalam kitab-kitab medisnya, telah merintis pemetaan jiwa yang tak kalah mendalam? Mereka mendekatinya melalui kerangka penyucian hati (tazkiyatun nafs) dan teori empat temperamen, bukan untuk sekadar memberi label, tetapi sebagai panduan praktis mencapai akhlak mulia dan ketenangan batin (an-nafs al-muthma'innah). 

Banyak ulama dan pemikir Islam klasik yang telah mendalami karakter dan kepribadian manusia secara mendalam, meskipun pendekatan mereka berbeda dengan psikologi modern yang empiris.

Mereka membahasnya dalam konteks:

  • Penyucian Jiwa (Tazkiyatun Nafs)

  • Akhlaq (Etika & Moralitas)

  • Memahami Sifat-Sifat Hati untuk Mendekatkan Diri kepada Allah

Berikut adalah beberapa konsep kepribadian utama dalam warisan keilmuan Islam:

<

1. Klasifikasi Dasar Jiwa (An-Nafs)

Al-Qur'an dan para ulama sering menggambarkan kondisi atau "tingkatan" jiwa manusia. Ini bukan tipe yang kaku, tetapi lebih merupakan fase-fase perkembangan spiritual yang dilalui seseorang.

Tingkatan NafsKarakteristikKira-kira dalam Psikologi Modern
An-Nafs al-Ammārah (النفس الأمارة)Jiwa yang "memerintah" pada kejahatan. Cenderung pada hawa nafsu, impulsif, dan memenuhi keinginan duniawi tanpa pertimbangan.Impulsivity, Low Self-Control, mirip dengan aspek Neuroticism yang tinggi dan Conscientiousness yang rendah.
An-Nafs al-Lawwāmah (النفس اللوامة)Jiwa yang "sangat mencela". Jiwa ini merasa menyesal dan mencela dirinya sendiri setelah berbuat dosa atau kesalahan. Ini adalah tanda iman dan hati yang hidup.Conscience, Guilt Proneness, mirip dengan aspek tinggi Neuroticism (sebagai kecemasan moral) dan Agreeableness (rasa penyesalan).
An-Nafs al-Muthma'innah (النفس المطمئنة)Jiwa yang "tenang". Jiwa yang telah mencapai ketenteraman dengan mengingat Allah, stabil, dan ridha. Ini adalah tingkat tertinggi.Emotional Stability, High Self-Actualization, mirip dengan kombinasi rendahnya Neuroticism dan tingginya Conscientiousness & Agreeableness.

2. Teori Empat Temperamen (Ath-Thabā'i')

Konsep ini sangat populer dalam pengobatan Islam klasik (Al-'Ilaj ath-Thabī'ī) dan dikembangkan oleh para dokter dan filsuf Muslim seperti Ibnu Sina (Avicenna). Teori ini berakar dari pemikiran Yunani Kuno (Hippocrates & Galen) tetapi dikembangkan lebih lanjut.

Mereka meyakini kepribadian ditentukan oleh keseimbangan empat cairan (humor) dalam tubuh:

TemperamenUnsur DominanKarakteristik Kepribadian
Sanguinis (Damawiy)Darah (Panas & Lembab)Ceria, optimis, bersosialisasi, energik, tetapi mudah lupa dan tidak konsisten. (Mirip Extraversion)
Koleris (Safrawiy)Empedu Kuning (Panas & Kering)Ambisius, pemimpin, berani, tegas, tetapi mudah marah dan agresif. (Mirip kombinasi Extraversion & Neuroticism)
Melankolis (Saudawiy)Empedu Hitam (Dingin & Kering)Analitis, detail-oriented, setia, perfeksionis, tetapi cenderung cemas, pendiam, dan intropektif. (Mirip Neuroticism tinggi & Introversion)
Flegmatis (Balghamiy)Lendir (Dingin & Lembab)Santai, damai, sabar, reliabel, tetapi cenderung lambat dan pemalu. (Mirip Agreeableness tinggi & Extraversion rendah)

Konsep ini digunakan untuk memahami kesehatan fisik dan mental, di mana pengobatan bertujuan untuk menyeimbangkan keempat unsur tersebut.

3. Ilmu Akhlaq dan Sifat-Sifat Hati

Ulama-ulama besar seperti Imam Al-Ghazali (dalam kitab Ihya' 'Ulumuddin) membedah kepribadian dengan sangat detail melalui ilmu akhlaq. Mereka mengkategorikan berdasarkan sifat-sifat hati yang harus diobati atau dikembangkan.

  • Sifat-Sifat Tercela (Madzmūmah) yang merusak kepribadian: Ujub (bangga diri), Kibr (sombong), Hasad (dengki), Riya' (pamer), Ghadhab (pemarah), Hubbud Dunya (cinta dunia).

  • Sifat-Sifat Terpuji (Mahmūdah) yang membentuk kepribadian mulia: Tawadhu' (rendah hati), Syukur, Sabar, Tawakkal, Ikhlas, Qana'ah (merasa cukup).

Pendekatan Imam Al-Ghazali sangat psikologis. Ia tidak hanya menyebutkan dosa, tetapi juga menganalisis akar penyebabnya di dalam hati dan memberikan "terapi"-nya langkah demi langkah.

4. Kepribadian Nabi Muhammad SAW sebagai Teladan

Sumber utama memahami kepribadian ideal dalam Islam adalah pribadi Nabi Muhammad SAW (Usawatun Hasanah). Sifat-sifat beliau seperti As-Siddiq (jujur), Al-Amanah (dapat dipercaya), At-Tabligh (menyampaikan), dan Al-Fathanah (cerdas) menjadi kompas utama bagi Muslim dalam membentuk kepribadian.

📜 Perbandingan dengan Psikologi Modern

AspekPsikologi Modern (Cattell, dll)Perspektif Ulama Islam
TujuanMendeskripsikan & Memprediksi perilaku untuk terapi, pendidikan, dan dunia kerja.Menyucikan jiwa (Tazkiyah) untuk meraih ridha Allah dan akhlaq mulia.
PendekatanEmpiris & Statistik, berdasarkan observasi dan pengukuran.Transendental & Teleologis, berdasarkan wahyu, akal, dan pengalaman batin, dengan tujuan akhir (akhirat) dalam pikiran.
FokusApa adanya (deskriptif) - "Bagaimana kepribadian manusia?"Apa yang seharusnya (normatif) - "Bagaimana seharusnya kepribadian manusia?"

Kesimpulan:
Para ulama Islam tidak membangun teori kepribadian untuk sekadar dikotak-kotakkan, tetapi untuk memberikan peta perjalanan spiritual manusia. Mulai dari jiwa yang cenderung pada hawa nafsu (Ammārah), melalui fase pertobatan (Lawwāmah), hingga mencapai ketenangan sejati (Muthma'innah).

Jadi, ilmu mereka adalah "psikologi dengan tujuan ilahiah" yang sangat kaya dan mendalam.

Komentar

Artikel Populer

Bersama Mewujudkan Perubahan

Growth Mindset dalam Perspektif Islam: Belajar dari Carol Dweck, Imam Al-Ghazali, dan Ibnu Qayyim

Neuroplastisitas: Bukti Ilmiah Bahwa Pikiran Dapat Mengubah Otak — dan Iman Dapat Menguatkannya