“Mewujudkan masyarakat yang harmonis, inklusif, dan bebas dari paham radikal melalui pendekatan persaudaraan, edukasi, dan kolaborasi.” #SalamGayengPersaudaraan

Kritik Ulama Ahlussunnah terhadap Teori Empat Temperamen Ath-Thabā'i'

Teori empat temperamen (ath-thabā'i') yang populer dalam pengobatan Islam klasik ternyata menuai kritik tajam dari para ulama. Artikel ini mengungkap sanggahan signifikan terhadap teori ini, terutama dari kalangan ulama yang berpegang teguh pada pendekatan teks murni (naql).

Simak analisis mendalam tentang bagaimana warisan filsafat Yunani ini dianggap bertentangan dengan konsep tauhid dan tanggung jawab manusia dalam Islam, serta bagaimana para ulama memberikan perspektif alternatif yang lebih sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.

⚠️ Sanggahan dan Kritik Utama

1. Berasal dari Filsafat Yunani (Yunaniyyah) yang Non-Islami

Kritik paling keras adalah soal sumber asalnya. Teori ini bukan berasal dari Al-Qur'an atau Hadits, melainkan dari pemikiran para filsuf dan dokter Yunani kuno seperti Hippocrates dan Galen, yang kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina (Avicenna) dan Al-Kindi.

  • Argumen Kritikus: Memasukkan unsur-unsur filsafat asing yang tidak berdasar pada wahyu ke dalam kerangka pemikiran Islam adalah bentuk bid'ah (inovasi yang sesat) dalam akidah dan pemahaman. Mereka khawatir ini akan mencemari kemurnian tauhid.

2. Bertentangan dengan Konsep Tauhid dan Takdir

Teori ini dianggap oleh sebagian ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya, bertentangan dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam beberapa hal:

  • Determinisme yang Keliru: Teori ini menisbatkan perilaku dan karakter manusia secara dominan pada "sifat fisik" (kelembaban, kekeringan, dll). Ini dianggap sebagai bentuk determinisme materialis yang mengurangi peran kehendak (iradah) manusia dan, pada akhirnya, mengurangi tanggung jawab manusia atas perbuatannya.

  • Mengabaikan Peran Hati (Qalb): Dalam Islam, sumber kebaikan dan keburukan adalah hati. Sabda Nabi Muhammad SAW: "Ingatlah, di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Kritikus berpendapat teori temperamen terlalu fokus pada jasmani dan mengabaikan kekuatan spiritual dan moral hati sebagai pengendali.

3. Tidak Memiliki Dasar yang Kuat dalam Nash Syar'i

Para ulama yang ketat dalam masalah sumber hukum (ushul fiqh) menyatakan bahwa teori ini tidak didukung oleh dalil Al-Qur'an dan Hadits yang shahih dan sharih (eksplisit). Klasifikasi manusia dalam nash syar'i didasarkan pada iman, takwa, dan akhlak, bukan pada unsur-unsur fisik.

  • Contoh: Al-Qur'an menggambarkan jiwa dengan An-Nafs al-Ammārah, Al-Lawwāmah, dan Al-Muthma'innah — sebuah klasifikasi spiritual, bukan fisiologis.


🛡️ Pembelaan dan Kontekstualisasi

Di sisi lain, ada ulama yang memandang teori ini bisa diterima dengan syarat dan konteks tertentu:

  1. Sebagai Ilmu Kedokteran, Bukan Akidah: Para ulama seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (murid Ibnu Taimiyyah) dalam kitabnya "Ath-Thibbun Nabawi" (Pengobatan Cara Nabi) masih membahas konsep ini. Beliau membedakan dengan tegas: teori empat unsur ini adalah kerangka kerja dalam ilmu kedokteran duniawi (thibb al-ajsad) yang berguna untuk diagnosis dan pengobatan fisik, bukan sebagai bagian dari akidah atau ilmu tentang hati (thibb al-qulub).

  2. Sebagai Alat Bantu, Bukan Penentu: Dalam pandangan ini, temperamen dilihat sebagai kecenderungan alamiah (maddah) yang diberikan Allah, bukan sebagai penentu mutlak. Manusia dengan akal dan agamanya memiliki kemampuan untuk melatih jiwa (riyadhah an-nafs) dan melawan kecenderungan buruk temperamennya. Seorang yang secara temperamen pemarah (Koleris), misalnya, bisa melatih diri untuk menjadi penyabar.

  3. Korelasi, Bukan Sebab-Akibat: Teori ini bisa menjelaskan korelasi antara kondisi fisik dan kecenderungan perilaku, tanpa harus meyakini bahwa unsur fisik itu adalah penyebab langsungnya. Yang menjadi penyebab utama tetaplah hati dan pilihan manusia.


⚖️ Kesimpulan: Bagaimana Menyikapinya dengan Ilmu?

Berdasarkan perbedaan pendapat ini, seorang Muslim dapat bersikap kritis dan bijak sebagai berikut:

  • Pisahkan antara Bidang Kedokteran dan Akidah: Teori ini memiliki nilai historis dan praktis dalam pengobatan tradisional Islam, tetapi tidak boleh dijadikan keyakinan yang menentukan nasib atau mengurangi tanggung jawab manusia.

  • Utamakan Kerangka Syar'i: Dalam memahami dan memperbaiki diri, kerangka utama tetaplah Al-Qur'an dan Sunnah dengan konsep penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), memerangi hawa nafsu, dan melatih akhlak mulia. Teori temperamen, jika digunakan, hanyalah alat bantu sekunder untuk memahami kecenderungan fisik.

  • Jangan Menjadi Deterministik: Jangan pernah berkata, "Saya memang pemarah karena saya Koleris, jadi tidak bisa diubah." Ini bertentangan dengan tujuan syariat untuk memperbaiki akhlak. Setiap kecenderungan buruk bisa dilawan dengan iman dan latihan.

  • Ambil Manfaatnya, Tinggalkan Bahayanya: Jika teori ini membantu Anda memahami kecenderungan diri untuk kemudian berusaha memperbaikinya, maka itu baik. Namun, jika teori ini membuat Anda merasa ditakdirkan untuk menjadi buruk, maka tinggalkanlah.

Dengan demikian, sanggahan dari para ulama tersebut bukanlah tanpa alasan. Ia merupakan bentuk penjagaan terhadap kemurnian akidah Islam dari infiltrasi pemikiran asing yang bisa melemahkan konsep takdir, kehendak bebas, dan tanggung jawab manusia di hadapan Allah.


Lihat Artkel sebelumnya :


Komentar

Artikel Populer

Bersama Mewujudkan Perubahan

Growth Mindset dalam Perspektif Islam: Belajar dari Carol Dweck, Imam Al-Ghazali, dan Ibnu Qayyim

Neuroplastisitas: Bukti Ilmiah Bahwa Pikiran Dapat Mengubah Otak — dan Iman Dapat Menguatkannya