Mewujudkan Masyarakat Bebas Paham Radikal: Dari Penangkalan ke Pemberdayaan
Bebas dari paham radikal bukan hanya berarti tidak adanya aksi teror atau kekerasan. Lebih dari itu, ini adalah tentang menciptakan ketahanan mental dan sosial masyarakat terhadap narasi-narasi ekstrem yang memecah belah. Pendekatannya bukan sekadar reaktif (deradikalisasi setelah terpapar), tetapi proaktif (prevensi/pencegahan) dengan membangun fondasi masyarakat yang sehat melalui persaudaraan, edukasi, dan kolaborasi.
Paham radikal seringkali tumbuh subur dalam kondisi keterasingan sosial, ketidakpahaman agama yang komprehensif, dan ketiadaan ruang untuk berpartisipasi secara konstruktif. Tiga pilar Persadani ini secara langsung menangkal akar masalah tersebut.
Peran Pendekatan Persadani dalam Menangkal Paham Radikal
Berikut adalah penjabaran bagaimana ketiga pilar Persadani bekerja secara sinergis untuk membangun kekebalan masyarakat (community immunity) terhadap radikalisme.
1. Melalui Pendekatan PERSADARAAN (Ukhuwah): Menyembuhkan Luka Keterasingan
Paham radikal seringkali menjanjikan identitas dan rasa "kebersamaan" yang palsu bagi individu yang merasa terisolasi atau terpinggirkan.
Menjadi Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net):
Aksi Nyata: Membangun komunitas yang hangat dan peduli, di mana setiap individu diperhatikan. Ketika seseorang mengalami masalah ekonomi, kegalauan, atau krisis identitas, komunitas hadir untuk mendukung, bukan menghakimi. Ini mencegah mereka mencari "pelarian" dan "solusi instan" yang ditawarkan oleh kelompok radikal.
Dampak: Individu merasa memiliki ikatan yang kuat dengan masyarakatnya. Ikatan emosional ini membuat mereka tidak mudah terpikat oleh janji-janji "persaudaraan semu" dari kelompok radikal yang mengajak untuk memutus tali silaturahmi dengan keluarga dan masyarakat luas.
Memanusiakan "Yang Lain":
Aksi Nyata: Mempertemukan secara intensif kelompok yang rentan dengan kelompok yang sering menjadi "musuh" dalam narasi radikal (misalnya, antarumat beragama yang berbeda). Dialog dari hati ke hati ini mematahkan stereotip "kafir", "thaghut", atau "musuh yang harus diperangi".
Dampak: Narasi radikal yang mendemonisasi kelompok lain menjadi tidak relevan karena telah dipatahkan oleh pengalaman personal yang positif. Mereka menyadari bahwa "musuh" yang digambarkan kelompok radikal ternyata adalah saudara sebangsa yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang sama.
2. Melalui Pendekatan EDUKASI (At-Ta'lim): Meluruskan Pemahaman dan Memperkuat Daya Kritis
Radikalisme seringkali menyalahgunakan teks-teks agama dan teori konspirasi untuk merekrut pengikut. Edukasi adalah senjata utama untuk melawannya.
Pendidikan Agama yang Kontekstual dan Rahmatan lil 'Alamin:
Aksi Nyata: Mengadakan kajian keagamaan yang menekankan pesan-pesan perdamaian, toleransi, dan penafsiran yang sesuai dengan konteks kekinian. Menghadirkan narasumber yang kredibel dan moderat untuk meluruskan pemahaman yang sempit dan tekstual.
Dampak: Masyarakat memiliki pemahaman agama yang inklusif dan damai. Mereka mampu membedakan antara ajaran agama yang otentik dengan penafsiran-penafsiran radikal yang dipelintir untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Literasi Media Digital dan Melawan Hoaks/Propaganda:
Aksi Nyata: Workshop yang mengajarkan cara mengenali ciri-ciri konten radikal, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial. Melatih keterampilan fact-checking dan berpikir kritis sebelum menyebarkan informasi.
Dampak: Masyarakat menjadi "tentara siber" yang mampu membentengi diri dan lingkungannya dari racun radikalisme online. Mereka tidak mudah terpengaruh oleh propaganda yang menyebarkan kebencian dan ketakutan.
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) yang Menyentuh Hati:
Aksi Nyata: Menyajikan sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dibangun oleh semua suku dan agama. Menekankan bahwa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah konsensus final untuk hidup bersama.
Dampak: Menumbuhkan rasa cinta tanah air dan kebanggaan sebagai bagian dari bangsa yang majemuk. Hal ini bertolak belakang dengan paham radikal yang seringkali anti-nasionalis dan ingin mendirikan negara berdasarkan satu kelompok saja.
3. Melalui Pendekatan KOLABORASI (At-Ta'awun): Menutup Ruang Tumbuhnya Radikalisme
Radikalisme sulit berkembang di masyarakat yang warganya aktif terlibat dalam proyek-proyek positif bersama.
Memberikan Wadah Kreatif dan Produktif bagi Kaum Muda:
Aksi Nyata: Menciptakan program pelatihan kewirausahaan, lomba inovasi, atau kegiatan olahraga dan seni yang melibatkan pemuda. Memberikan mereka ruang untuk menyalurkan energi, idealisme, dan bakat secara positif.
Dampak: Pemuda yang memiliki tujuan hidup, kesibukan yang membangun, dan harapan untuk masa depan akan jauh lebih kebal terhadap bujukan kelompok radikal yang menjanjikan "identitas heroik" dan "perubahan cepat".
Membangun Kemitraan dengan Seluruh Elemen Bangsa (Pentahelix):
Aksi Nyata: Berkolaborasi secara erat dengan pemerintah (termasuk aparat keamanan), dunia akademik, komunitas agama, pelaku usaha, dan media. Berbagi informasi tentang potensi kerentanan radikalisme di suatu daerah dan bersama-sama merancang program pencegahannya.
Dampak: Tercipta sistem deteksi dini dan pencegahan yang komprehensif. Pendekatan keamanan (hard approach) dari aparat akan jauh lebih efektif jika didukung oleh pendekatan sosial-budaya (soft approach) dari masyarakat. Kolaborasi ini menutup celah yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok radikal.
Kesimpulan: Strategi yang Holistik dan Humanis
Dengan tiga pendekatan ini, Yayasan Persadani tidak memerangi radikalisme dengan kekerasan atau narasi kebencian baru, melainkan mengisi "kekosongan" yang biasa diisi oleh paham radikal.
Persaudaraan mengisi kekosongan emosional dan rasa memiliki.
Edukasi mengisi kekosongan pemahaman dan nalar kritis.
Kolaborasi mengisi kekosongan aksi dan partisipasi.
Dengan demikian, upaya mewujudkan masyarakat yang bebas dari paham radikal menjadi lebih manusiawi, berkelanjutan, dan berakar pada penguatan imunitas masyarakat itu sendiri. Ini adalah investasi jangka panjang untuk perdamaian yang sesungguhnya.
Komentar
Posting Komentar